Oleh: Muhammad Nazri Janra (Dosen Departemen Biologi Fakultas MIPA Unand)
Kalaulah rakyat badarai ini boleh leluasa mengekspresikan ketidakpuasan pada kinerja pemerintah yang mengatur kendali negara, maka boleh jadi akan banyak yang mengekspresikannya. Terlebih sejak satu dekade berlalu, dengan orang-orang yang didudukkan di kursi pemerintahan (eksekutif atau legislatif) lebih banyak membuat kita mengurut dada ketimbang bertepuk tangan terhadap prestasi membanggakan yang dilakukannya.
Cuma di dekade inilah ketika cabai, beras, telur, minyak, dan beragam komoditas kebutuhan sehari-hari melonjak tajam harganya. Alih-alih melakukan tindakan yang dapat meredamnya para pemangku kebijakan justru mengeluarkan statement kontraproduktif dengan sepakat bilang, “Tanam atau produksi sendiri!” Bahkan keluhan tentang mahalnya biaya sekolah, juga diredam (secara murahan) dengan, “Ajari anak sendiri!”
Teranyar, pernyataan salah seorang oknum yang kebetulan duduk di bangku legislatif dalam menjawab tingginya angka pengangguran di Indonesia. Dengan gamblang, sama seperti pejabat-pejabat sejenis yang sebelumnya memakai kalimat senada, si oknum menjawab bahwa sumber daya manusia (SDM) Indonesia (berkualitas) rendah. Sehingga tidak mampu mengisi lowongan pekerjaan yang menurut si oknum sudah cukup banyak tersedia di negara ini. Karena disampaikan secara publik dan dalam kapasitasnya sebagai seorang wakil rakyat, tentu saja hal ini mendapatkan banyak tanggapan. Mayoritas mengkritisi pernyataan tersebut, sama seperti tulisan ini juga akan lakukan.
Pertama-tama, tentunya tidak boleh asal gamblang saja untuk menyatakan bahwa SDM di negara ini pada umumnya berkualitas di bawah rata-rata. Meskipun tentu tidak semua orang memiliki kualitas intelektual, keterampilan, kecerdasan, dan lain-lain yang tinggi, yang menjadi tolok ukur mutunya sebagai seorang manusia dan pekerja, sehingga pernyataan tersebut otomatis mendapat tanggapan negatif dari masyarakat. Negara kita ini tidak pernah kekurangan individu dengan kapasitas layaknya seorang B.J. Habibie yang kecerdasan dan intelektualitasnya diakui sampai ke mancanegara. Tetapi kenapa tidak banyak yang “kedengaran” gaung aktivitasnya. Hal ini yang patut kita pertanyakan.
Sebagaimana yang disampaikan di atas, Indonesia tidak pernah kehabisan orang pintar. Hanya saja mereka tidak pernah optimal dalam menggunakan kapasitasnya dalam memberikan sumbangsih kepada bangsa ini. Banyak orang-orang terpelajar kita yang memilih untuk mengabdi di luar negeri, bukan semata karena mengharap gaji tinggi atau karena minim rasa nasionalismenya. Bukan. Seringkali, ketika pertama-tama mereka menuju ke dalam negeri untuk siap berbakti ketika itu pula mereka harus berhadapan dengan administrasi, birokrasi, ketidaklengkapan sarana prasarana dalam upaya untuk berkinerja maksimal mewujudkan baktinya pada negara.
Tidak sedikit anak-anak bangsa yang bersekolah keluar negeri, ketika kembali pulang merasa shock dengan ketidaksiapan dunia kerja dalam negeri untuk memfasilitasi apa yang sudah mereka pelajari di luar sana. Ini kebanyakan terjadi pada mereka yang menjadi peneliti dan tenaga pengajar pendidikan tinggi.










