HARIANHALUAN.ID – Di pesisir barat Sumatra, terdapat sebuah wilayah geologi yang bentang alamnya selalu memikat: barisan bukit terjal yang seakan muncul dari rahim bumi, lembah-lembah sempit yang menurun curam menuju laut, serta garis pantai panjang yang menjadi batas antara daratan yang keras dan samudra yang tak pernah sepenuhnya jinak.
Bagi sebagian orang, lanskap semacam ini adalah seruan tentang peluang, terutama peluang tambang batubara. Pertanyaan yang terus berulang muncul dari masa ke masa: adakah potensi batubara-nya layak dikembangkan di daerah ini? Namun setiap kali pertanyaan itu ditelusuri lebih jauh, jawabannya selalu bergerak ke arah yang lebih kompleks daripada sekadar “ada” atau “tidak ada”.
Secara geologi, wilayah ini memang berada di pinggiran Cekungan Ombilin, salah satu cekungan batubara tertua di Nusantara. Di bagian pusat cekungan, batubara tersusun rapi dalam lapisan-lapisan tebal yang mudah diprediksi. Tetapi di daerah pinggirannya, struktur itu sudah tercerai, terlipat, terangkat dan tersayat oleh aktivitas tektonik Pegunungan Barisan. Lapisan batubara yang dulu mungkin utuh kini hanya tersisa sebagai fragmen yang tercecer di antara batuan vulkanik dan metamorf. Batubara memang ada, tetapi keberadaannya lebih menyerupai jejak fosil dalam buku sejarah geologi, sehingga bukan sumber energi yang dapat diekstraksi secara ekonomis. Dalam bahasa lain, potensi batubara di wilayah ini jauh lebih kecil daripada ambisi yang sering dibebankan kepadanya.

Di luar persoalan geologi, ada kenyataan lain yang jauh lebih mencolok: wilayah ini tersusun oleh lereng-lereng curam yang secara alami tidak stabil. Sekitar enam puluh persen lahannya memiliki kemiringan antara dua puluh hingga empat puluh lima derajat suatu nila atau angka yang dalam geomorfologi dikategorikan sebagai highly unstable slopes, lereng yang rentan bergerak, bergeser, atau runtuh ketika diganggu. Curah hujan tinggi sepanjang tahun membuat tanah selalu jenuh air, sementara sesar aktif memotong lanskap dari utara ke selatan, menciptakan zona-zona rawan yang dapat runtuh tanpa peringatan panjang. Dalam kondisi seperti ini, membuka tambang bukan hanya berisiko; tetapi bertentangan dengan logika fisika tanah itu sendiri. Satu gangguan kecil di hulu dapat mengubah sungai yang tenang menjadi banjir bandang yang melaju membawa lumpur, batu, dan batang kayu ke hilir.
Masalah kerentanan ekologis semakin diperkuat oleh fakta bahwa hampir separuh wilayah ini bersinggungan langsung dengan kawasan konservasi yang menjadi jantung ekologis Sumatra. Di daerah inilah hulu-hulu sungai lahir, vegetasi alami menjaga kelembapan tanah, dan aliran air dikendalikan agar tidak mengamuk saat hujan ekstrem datang. Kehilangan tutupan vegetasi pada bagian-bagian sensitif ini sama artinya dengan melepaskan “rem alam”. Tanpa rem itu, laju air meningkat liar, dan longsor menjadi ancaman yang tak terhindarkan. Dalam kerangka konservasi modern, memasukkan tambang batubara ke wilayah semacam ini bukan sekadar tidak lazim, ia hampir mustahil dipertahankan secara ilmiah.
Dalam satu dekade terakhir, gejala yang lebih mencemaskan muncul: bencana longsor dan banjir bandang meningkat drastis. Hulu-hulu yang seharusnya kokoh mulai melemah akibat pembukaan lahan, terutama oleh aktivitas galian tradisional seperti batu gunung dan pasir sungai. Sungai-sungai yang dulu tenang kini berubah menjadi saluran air yang mudah meluap. Kejadian ekstrem yang dahulu dipandang sebagai fenomena lima tahunan kini dapat terjadi dua kali dalam satu musim. Korelasi antara kerusakan hulu, hujan ekstrem, dan meningkatnya frekuensi bencana bukan lagi asumsi, melainkan bukti empiris yang terulang di banyak lokasi.










