Oleh :
Gamawan Fauzi
Mantan Gubernur Sumbar
Musibah kembali melanda Sumatera Barat. Hujan yang tak henti siang-malam dengan curah tinggi membuat sejumlah bukit longsor dan sungai meluap. Selama hidup, belum pernah saya menyaksikan hujan selama dan sederas itu, berhari-hari.
Kemudian kita mendapat berita duka. Sejumlah jalan putus, jembatan ambruk, rumah banyak yang rusak. Bahkan, ratusan saudara kita meninggal, hilang dan luka-luka. Banyak video peristiwa yang mengenaskan itu beredar di media sosial, membuat hati dan jiwa kita luruh dan luluh.
Topografi alam Sumatera Barat yang sebagian besar berada dalam jajaran bukit barisan adalah hamparan yang elok dan amat menawan. Namun, ketika hujan berhari-hari dengan curah yang tinggi turun seperti kejadian tanggal 21 hingga 27 November lalu, keelokan itu berbalik menjadi bencana. Apalagi hutan yang biasanya menjadi spon alami yang menyimpan air, sudah rusak parah akibat digunduli oleh penebang liar atau pelaku illegal logging.
Peristiwa ini tak hanya terjadi di Sumatera Barat. Ada tiga provinsi mengalami nasib yang sama, yaitu Aceh, Sumatera Barat dan Sumatera Utara. Banyak pengamat, pemerhati, peneliti, politisi dan berbagai kalangan memberi komentar pedas dan menuntut pemerintah agar menjadikan peristiwa itu dengan status sebagai bencana nasional.
Saya takkan memberi komentar tentang hal itu. Tapi saya menyaksikan dan mengikuti dengan seksama betapa banyak pihak-pihak yang secara spontan bergegas memberikan bantuan dan datang ke daerah bencana.
Di Sumatera Barat sendiri, berbagai organisasi, pribadi dan karyawan instansi pemerintah dan swasta juga menggalang dana dan menyalurkan langsung ke daerah-daerah terpapar. Saya ketemu seorang pengurus masjid di kawasan Barandon Kota Padang. Dia mengatakan, hari ini saja, masjid kami yang membuat dapur umum mendapat bantuan dari berbagai pihak sebanyak 80 juta rupiah.
Dapur umum itu dikerjakan secara sukarela oleh warga sekitar masjid. Mereka memasak nasi, lauk dan sayur, lalu mendistribusikan ke titik-titik tertentu melalui aplikasi hand phone. Subhanallah, saya terharu dan sekaligus salut. Inilah wujud dari kepedulian sosial yang menjadi salah satu kekuatan bangsa kita, kendatipun dikhianati oleh mereka yang merusak alam dan mengambil keuntungan pribadi di atasnya, tanpa peduli akibatnya.
Rakyat sudah memberi teladan dan pelajaran kepada kita, betapa mereka telah mengamalkan falsafah hidup bersama Minangkabau, yaitu “kaba baiak baimbauan, kaba buruak bahambauan”.
Bagaimana dengan Pemerintah Daerah? Mungkin dalam skala masing-masing kabupaten/kota, institusi pemerintah sudah bergerak, sudah diberdayakan dan sudah dikerahkan untuk mengatasi masalah yang ada. TNI dan Polri juga sudah mengambil perannya, sehingga banyak hal sudah dilakukan.
Tapi semua tahu, bahwa bencana banjir yang terjadi, tidak memapar semua daerah di Sumatera Barat. Ada yang kerusakannya amat parah, ada yang serius dan ada yang hanya terpapar sedikit, bahkan ada yang hampir tak mengalami dampak serius sama sekali.
Disinilah menurut saya, pentingnya peran Pemerintah Provinsi. Dengan kewenangan dan kedudukan gubernur sebagai koordinator daerah kabupaten/kota, tentu khalayak mengharapkan peran tersebut dijalankan secara maksimal.
Dalam hal ini, ada beberapa hal yang bisa dilakukan :
1. Segera mengadakan rapat koordinasi untuk mendata, mengetahui dan memahami bersama akibat yang ditimbulkan bencana dengan kabupaten/kota serta semua instansi terkait.
2. Mengarahkan daerah untuk mengambil langkah cepat/tindakan terukur menanggulangi bencana yang bersifat sangat prioritas serta menentukan siapa mengerjakan apa. Semua itu ditentukan targetnya, dijalankan, diawasi, dievaluasi secara berkala, untuk mengetahui handicap, capaian dan kendala secara nyata, sekaligus mencarikan solusinya.
3. Ke tingkat pusat, dengan semua institusi terkait, gubernur adaìah satu-satunya pintu masuk menentukan arah pemberian bantuan, baik materi maupun non-materi. Sehingga distribusi bantuan dirasakan adil bagi daerah.
4. Kabupaten/kota yang aman dari bencana, diarahkan gubernur untuk berpartisipasi dan berperan aktif membantu daerah yang terdampak. Tentu prioritasnya adalah daerah tetangga.
Dalam hal ini, banyak sekali bentuk bantuan yang bisa diberikan, seperti tenaga medis, air bersih, alat berat, dum truck, dan banyak lagi yang lain. Patutkah, di saat negara lain menawarkan bantuan, daerah dalam satu provinsi saja berpangku tangan dan hanya duduk menonton video bencana di sebelah rumahnya?
Setelah badai berlalu, Sumatera Barat, selayaknya memikirkan langkah-langkah strategis untuk menjaga lingkungan. Tak selayaknya berpikir, dima tumbuah, di sinan disiang. Tapi amalkanlah pepatah, maintai sabalun luluih, maminteh sabalum anyuik.
Kajian yang dilakukan ahli klimatologi dan perubahan iklim dari BRiN, Erma Yushartin, mengungkapkan, bahwa ada tiga faktor penyebab bencana yang baru lalu. Pertama cuaca extrem, kedua lemahnya mitigasi bencana, dan ketiga degradasi hutan.
Spon alami yang selama ini berada di hutan, kini hilang 60 persen. Bila dibiarkan, maka bencana serupa akan bersifat pengulangan berkala, pengulangan korban nyawa, pengulangan kerugian harta benda.
Apalagi, masih menurut analisa yang bersangkutan, sebagian wilayah bencana tidak layak lagi untuk dihuni, dan harus direlokasi.
Morfologi sungai sudah berubah dan hutan makin gundul juga. Kebiasaan kita yang hanya ribut, sibuk, dan kasak-kusuk saat bencana datang, lalu melupakan, mungkin perlu diubah.
Sibuklah, urus dan bekerja dengan sistem dan tindakan yang disiplin untuk mencegah agar bencana tak terulang. Hijaukan kembali hutan kita, tangkap dan cegah penebangan liar, dan berkomitmen bahwa tak seorangpun lagi oknum aparat yang bermain mata dengan pelaku perambah hutan.
Saya ingin mengetuk hati, renungkanlah.., akibat ulah perambah hutan dan oknum yang tak menjalankan fungsinya sebagai aparat, bahkan ikut bermain mata, ratusan nyawa melayang dan triliunan harta benda hilang.
Kerakusan, dosa, pengkhianatan, atau apalah itu namanya. Saatnya berfikir ulang. (*)










