Shelza Putri Danty
Mahasiswa Universitas Andalas
Bencana yang melanda Sumatera Barat, khususnya di kawasan irigasi, meninggalkan luka yang tidak hanya tampak pada rumah-rumah yang runtuh atau jembatan yang patah, tetapi juga pada jiwa masyarakat yang mendadak harus menghadapi kenyataan pahit bahwa hidup mereka berubah dalam hitungan menit. Ribuan warga kehilangan tempat tinggal, akses pangan terputus, aliran air bersih terganggu, sementara ancaman longsor dan banjir susulan masih menggantung di atas kepala. Ketidakpastian menjadi teman sehari-hari, tenda darurat menjadi rumah sementara dan dapur umum satu-satunya tempat untuk bisa tetap makan. Namun di tengah situasi darurat seperti itu, ketika prioritas utama adalah bertahan hidup, justru muncul fenomena sosial yang menambah luka, kenaikan upah angkut pasir secara tidak wajar di daerah irigasi, wilayah yang menjadi harapan terakhir warga untuk mendapatkan material memperbaiki rumah.
Pasir yang semestinya menjadi penyelamat untuk menutup retakan dinding, memperkuat pondasi, atau meratakan tanah yang digerus banjir, mendadak berubah menjadi komoditas mahal. Upah tenaga angkut melonjak menjadi Rp500 ribu hingga Rp1 juta hanya untuk kerja fisiknya saja, belum termasuk biaya mobil pikap atau transportasi lain. Langkanya pilihan membuat warga terpaksa membayar. Lonjakan harga seperti ini tentu mengundang pertanyaan moral, Apakah nilai kemanusiaan kita benar-benar selemah itu? Apakah bencana alam membuka topeng sebagian kecil orang yang lebih cepat melihat peluang keuntungan daripada penderitaan sesama? Memang pekerjaan mengangkut pasir membutuhkan tenaga dan keberanian, terlebih kondisi irigasi masih labil, rawan longsor, serta aliran air belum sepenuhnya aman. Namun memanfaatkan situasi dengan melambungkan harga hingga beberapa kali lipat di masa darurat jelas menunjukkan bahwa ada pihak yang sengaja menjadikan kesulitan orang lain sebagai modal cuan.
Banyak warga sebenarnya ingin mengambil pasir sendiri, tetapi kondisi jalan pascabencana membuat langkah itu setara dengan perjudian nyawa. Jalan yang retak, berlubang, dan sebagian ambles menyulitkan siapa pun untuk melintas. Di beberapa titik, badan jalan terbelah dan hanya menyisakan jalur sempit yang rawan longsor. Lumpur tebal menutupi permukaan, membuat pejalan kaki maupun kendaraan mudah tergelincir. Bebatuan dari tebing yang runtuh sewaktu-waktu dapat jatuh dan menghantam siapa saja yang berada di bawahnya. Dalam situasi seperti ini, untuk sekadar menuju lokasi pengambilan pasir saja sudah sangat berbahaya, apalagi membawa pulang muatan berat.
Karena kondisi yang tidak aman tersebut, warga akhirnya tidak punya pilihan selain menggunakan jasa angkut. Namun keadaan terdesak ini justru dimanfaatkan oleh oknum yang menaikkan tarif dengan semena-mena, seolah penderitaan orang lain adalah peluang keuntungan pribadi. Pada titik ini, masyarakat bukan hanya menjadi korban bencana alam, tetapi juga korban bencana moral, luka yang justru ditimbulkan oleh sesama manusia.
Namun kenaikan upah angkut pasir bukan satu-satunya ironi yang tampak pascabencana. Fenomena lain yang semakin memperberat kondisi adalah kenaikan harga bahan pokok di beberapa titik lokasi. Jalur distribusi yang terputus membuat pasokan berkurang, tetapi yang menyakitkan adalah adanya oknum pedagang yang diduga sengaja menahan barang untuk menaikkan harga. Beras, telur, minyak goreng, air mineral, barang yang seharusnya disalurkan cepat untuk kebutuhan mendesak, sebagian berubah menjadi komoditas spekulatif. Warga yang baru kehilangan rumah kini harus berhadapan dengan harga pasar yang tidak manusiawi. Ketika mereka tidak bisa memasak karena dapur hanyut atau peralatan hilang, harga makanan siap saji di kawasan terdampak justru meningkat dua hingga tiga kali lipat.
Fenomena lainnya terlihat pada penyaluran bantuan kemanusiaan. Banyak laporan menunjukkan adanya bantuan yang menumpuk di posko utama, sementara warga di daerah paling sulit dijangkau belum tersentuh sama sekali. Pendataan tidak merata, koordinasi antar lembaga minim, dan persoalan mengenai siapa yang berhak mendistribusikan bantuan sering kali memperpanjang penderitaan warga. Sementara itu, sebagian komunitas menerima bantuan berlimpah hingga melebihi kebutuhan mendesak, sementara kelompok lain menunggu dengan perut kosong. Ketidakseimbangan ini memperlihatkan bahwa masalah bukan hanya pada logistik, tetapi juga pada cara kita mengelola empati, bahwa niat baik pun bisa tersesat jika tidak diarahkan dengan benar.
Di sisi lain, muncul pula fenomena wisata bencana, ketika lokasi yang seharusnya steril untuk evakuasi justru dipadati orang-orang yang datang hanya untuk mengambil foto, membuat video, atau sekadar berpose dengan latar belakang rumah rusak dan mobil terseret banjir. Kehadiran mereka tidak hanya menghambat relawan dan kendaraan darurat, tetapi juga melukai batin warga yang sedang berduka. Bencana bukanlah obyek tontonan; bukan panggung konten viral. Ia menyisakan rasa kehilangan yang tidak pantas dijadikan hiburan.
Semua fenomena ini memperlihatkan satu hal, bencana tidak hanya merobek tanah, tetapi juga memperlihatkan lapisan paling gelap dari perilaku manusia. Solidaritas yang seharusnya menjadi fondasi utama di masa sulit justru runtuh di tangan oknum yang menjadikan krisis sebagai ladang keuntungan. Kita sering membanggakan budaya gotong royong, saling bantu, dan rasa kebersamaan sebagai identitas bangsa. Namun apa jadinya jika identitas itu memudar setiap kali bencana datang? Jika penderitaan sesama justru dijadikan peluang bisnis instan? Apakah kita masih bisa menyebut diri sebagai bangsa yang beradab?
Padahal dalam kondisi normal saja, banyak keluarga hidup pas-pasan. Ketika bencana datang, sumber pendapatan hilang, tabungan terkuras, dan kehidupan berubah drastis. Dalam situasi seperti itu, kenaikan upah angkut pasir, naiknya harga bahan pokok, ketimpangan distribusi bantuan, dan wisata bencana bukan hanya masalah ekonomi atau sosial, tetapi juga luka moral yang memperpanjang trauma masyarakat. Hambatan-hambatan yang tercipta, baik oleh alam maupun oleh manusia, membuat proses pemulihan semakin lama dan semakin menyakitkan.
Karena itu, pemerintah daerah, tokoh masyarakat, dan lembaga kemanusiaan perlu mengambil tindakan cepat dan tegas. Harus ada regulasi sementara terkait harga layanan penting agar tidak terjadi pemerasan terselubung. Penyaluran bantuan harus dipastikan merata dan tepat sasaran melalui sinergi berbagai pihak, bukan ego sektoral. Akses ke lokasi bencana perlu dibatasi hanya bagi warga terdampak, relawan, dan petugas, bukan pemburu konten. Dan masyarakat yang memiliki kemampuan finansial, alat, atau tenaga perlu menyalakan kembali budaya gotong royong, meminjamkan kendaraan, menyediakan tenaga sukarela, atau sekadar membantu membersihkan rumah tetangga. Langkah kecil dapat menjadi penyangga besar bagi mereka yang kehilangan segalanya.
Pada akhirnya, bencana memang akan berlalu. Air akan surut, tanah akan mengering, dan rumah-rumah perlahan dapat dibangun kembali. Namun catatan moral kita sebagai masyarakat tidak akan hilang begitu saja. Kita akan dikenang bukan dari berapa besar keuntungan yang diraih saat bencana, tetapi dari seberapa besar empati yang kita berikan ketika banyak orang berada dalam kesulitan. Kemanusiaan adalah hal terakhir yang seharusnya kita korbankan. Sebab tanpa itu, kita bukan lagi korban bencana alam, kita menjadi korban dari keserakahan kita sendiri. Dalam masa sulit seperti ini, warga tidak membutuhkan tarif yang melangit; mereka membutuhkan tangan yang terulur, bukan tangan yang menagih. Mereka membutuhkan hati yang hadir, bukan perhitungan untung rugi. Di titik inilah, pilihan kita menjadi sangat jelas: ingin menjadi bagian dari masalah, atau bagian dari solusi. (*)










