PADANG, HARIANHALUAN.ID —
Dewa (12) sempat percaya air akan datang lagi. Setiap sore, ketika langit Padang menggelap, tubuhnya menegang. Ia menatap jendela Rusunawa Lubuk Buaya, memastikan hujan belum turun. “Kalau hujan deras, saya takut,” katanya pelan.
Dewa berasal dari Batu Busuak, Kecamatan Pauh—wilayah yang berkali-kali diterjang banjir bandang. Malam saat bencana itu datang, ia berlari tanpa sempat mengambil apa pun. Rumahnya kini tinggal kenangan, tertutup lumpur dan batu. Sejak itu, tidur menjadi hal yang sulit.
Namun Selasa siang (16/12/2025), Dewa tertawa. Untuk pertama kalinya sejak bencana, tawanya pecah di halaman rusunawa.
Di depannya, sebuah mobil Dukungan Psikososial milik Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi) terparkir. Dari dalamnya, relawan menggelar permainan, kertas gambar, dan cerita-cerita sederhana. Ruang aman kecil itu menjadi tempat anak-anak penyintas menurunkan beban yang terlalu berat untuk usia mereka.
Tak jauh dari Dewa, Mentari (10) duduk bersila, menggenggam krayon warna kuning. Ia menggambar matahari besar di atas rumah kecil. “Ini rumah nenek,” katanya. Mentari berasal dari Gunung Nago. Saat banjir datang, ia terpisah dari ibunya selama beberapa jam. Ketakutan itu masih tersisa, terutama setiap kali mendengar suara air deras.
“Aku takut kalau malam,” ujarnya lirih. Tapi hari itu, Mentari mau bercerita. Ia mau menggambar. Ia mau tertawa bersama anak-anak lain yang mengalami luka serupa—luka yang tak selalu terlihat.
Putri (9), anak bungsu di antara mereka, paling pendiam. Ia korban banjir dari Kuranji. Di awal kegiatan, Putri hanya duduk memeluk lutut. Matanya mengikuti gerak relawan tanpa bicara. Baru setelah satu jam, ia mendekat. Mengambil pensil warna biru. Menggambar sungai.
“Sungainya besar,” katanya. Lalu berhenti. Tak melanjutkan.
Relawan tak memaksa. Di ruang trauma healing, diam juga bahasa.
“Anak-anak adalah kelompok paling rentan saat bencana. Ketakutan mereka sering disimpan sendiri,” ujar Toro, fasilitator Dukungan Psikososial Komdigi. Menurutnya, pemulihan mental anak sama pentingnya dengan membangun rumah yang runtuh.
Kegiatan trauma healing di Rusunawa Lubuk Buaya digelar Komdigi bersama Save the Children Indonesia. Lokasi ini kini menjadi tempat relokasi warga dari berbagai daerah rawan bencana—Batu Busuak, Lubuk Minturun, Kuranji, hingga Pauh. Rusunawa yang dulunya dipakai untuk isolasi mandiri Covid-19, kini kembali memikul fungsi darurat: tempat berlindung, sekaligus ruang memulai ulang hidup.
Sementara anak-anak bermain dan bercerita, petugas Dinas Lingkungan Hidup Kota Padang bekerja membersihkan area rusunawa. Lumpur di kamar-kamar dibersihkan, kerusakan diperbaiki, sisa-sisa penjarahan ditata ulang. Negara bekerja dalam dua wajah: fisik dan batin.
Wali Kota Padang, Fadly Amran, sebelumnya menegaskan bahwa pemulihan pascabencana tidak boleh berhenti pada bangunan. “Pemulihan harus menyentuh martabat dan kesehatan mental warga, terutama anak-anak,” ujarnya.
Bagi Dewa, Mentari, dan Putri, kalimat itu bukan jargon. Ia hadir dalam bentuk sederhana: permainan, pelukan hangat, dan ruang aman untuk bicara—atau memilih diam.
Menjelang sore, Dewa ikut permainan kelompok. Mentari menunjukkan gambarnya kepada relawan. Putri, untuk pertama kalinya, tersenyum kecil.
Tawa-tawa itu mungkin terdengar biasa. Namun bagi anak-anak yang pernah berlari dari air dan kehilangan rumah, tawa adalah tanda paling jujur bahwa luka perlahan dirawat.
Pemulihan memang tidak selesai hari itu. Trauma tidak hilang dalam satu sesi. Tetapi di Rusunawa Lubuk Buaya, harapan menemukan pijakan kecilnya.
Dan seperti pesan yang terngiang di antara relawan dan anak-anak hari itu, jangan tinggalkan mereka sendirian.(*)














