PADANG, HARIANHALUAN.ID — Banjir bandang dan tanah longsor yang terus berulang di Sumatera Barat (Sumbar) bukan lagi sekadar bencana alam, melainkan cermin telanjang dari kegagalan negara menjalankan kewajiban dasarnya melindungi keselamatan warga.
Meski status tanggap darurat telah berkali-kali diperpanjang, nyatanya ancaman justru terus berulang, korban kembali berjatuhan, dan trauma warga semakin dalam.
Tim Advokasi Keadilan Ekologis Selamatkan Sumbar menilai Pemerintah Provinsi (Pemprov) Sumbar bersama pemerintah kabupaten/kota masih memperlihatkan lemahnya kepemimpinan dan buruknya koordinasi dalam penanganan bencana banjir bandang dan longsor yang hingga kini belum sepenuhnya reda.
Hujan dengan intensitas tinggi yang kembali mengguyur wilayah Sumbar pada Minggu (14/12) menjadi bukti pahit. Sejumlah wilayah di Kota Padang kembali terdampak banjir bandang. Warga yang sebelumnya telah menjadi korban, kembali terjebak dalam situasi berbahaya, sebuah ironi di tengah status tanggap darurat yang masih berlaku.
“Ini bukan kejadian tak terduga. Ini kegagalan mitigasi,” kata Tim Advokasi Ekologis dalam siaran pers yang diterima Haluan, Selasa (16/12)
Dalam kerangka hukum kebencanaan, mitigasi semestinya dilakukan jauh sebelum bencana terjadi, terutama di daerah rawan. Normalisasi sungai, pembersihan saluran air, penguatan vegetasi, pengendalian sumber ancaman, hingga edukasi masyarakat adalah mandat negara.
Namun fakta di lapangan justru memperlihatkan sebaliknya, negara seolah absen, bahkan pascabencana sekalipun. Sorotan tajam mengarah pada peristiwa di Batu Busuak, Kecamatan Pauh, Kota Padang. Di sana, warga terpaksa bergotong royong secara manual membentuk kembali alur sungai demi mencegah banjir susulan.
Gambar-gambar ini ramai beredar di berbagai platform media dan menjadi simbol telak dari ketidakhadiran negara dalam mitigasi risiko bencana.
Padahal, sejak 17 September 2025 Pemprov Sumbar telah menetapkan status siaga bencana. Status itu diperkuat dengan SK BPBD Nomor 300.2/1.301/BPBD-2025 pada 14 November 2025, disusul penetapan tanggap darurat pertama pada 25 November 2025 dan perpanjangan kedua hingga 22 Desember 2025. Namun, rangkaian keputusan administratif itu tak berbanding lurus dengan tindakan nyata di lapangan.
Hingga kini, pemerintah belum menunjukkan rencana mitigasi dan penanganan darurat yang jelas, terukur, dan berbasis risiko. Posko Tanggap Darurat yang dibuka sejak 26 November 2025 di Kantor BPBD Sumbar bahkan dinilai gagal menjalankan fungsi dasarnya. Pendataan warga terdampak tidak sinkron, koordinasi antar-OPD lemah, dan edukasi kebencanaan nyaris tak terdengar.
Ironisnya, hingga pertengahan Desember 2025, pemerintah belum juga merilis data pilah resmi korban dan dampak bencana. Kekacauan data ini dinilai berpotensi menimbulkan masalah serius pada fase rehabilitasi dan rekonstruksi kelak.
Akibat kelalaian itu, kelompok masyarakat sipil justru bergerak lebih cepat di sejumlah titik bencana, memenuhi kebutuhan dasar warga yang terabaikan negara.
Data sementara hingga 15 Desember 2025 mencatat 14.682 jiwa mengungsi di 113 titik, 243 orang meninggal dunia, dan masih terdapat warga yang belum dievakuasi dari wilayah rawan.
Pada 14 Desember 2025, delapan warga di Batu Busuak baru berhasil diselamatkan Tim SAR setelah kembali terjadi aliran air besar di Daerah Aliran Sungai (DAS) setempat membuktikan wilayah itu masih sangat berbahaya dan seharusnya tidak dihuni.
Rentetan bencana ekologis ini memperlihatkan ketidaksiapan pemerintahdalam mengelola risiko. Ratusan infrastruktur rusak, ratusan rumah terdampak, korban luka dan jiwa terus bertambah. Pada saat yang sama, pembiaran terhadap kejahatan lingkungan—mulai dari deforestasi hingga aktivitas ilegal—diduga kuat memperparah kerentanan ekologis daerah.
Situasi ini menjadi bagian dari notifikasi Gugatan Warga Negara (Citizen Lawsuit) yang telah disampaikan pada 10 Desember 2025. Gugatan tersebut sekaligus menjadi peringatan keras agar pemerintah pusat dan daerah tidak mengabaikan kewajiban hukumnya, terlebih di fase tanggap darurat yang berpotensi memenuhi kriteria bencana nasional.
Perwakilan Tim Advokasi Ekologis, Adrizal menegaskan bahwa negara tidak boleh menunggu korban berikutnya.
“Dalam situasi tanggap darurat, keselamatan jiwa adalah hukum tertinggi. Pemerintah seharusnya sudah melakukan pemetaan massif wilayah rawan, mitigasi risiko, dan evakuasi warga di zona berbahaya. Badan meteorologi sudah memberi peringatan cuaca ekstrem lanjutan, tetapi pemerintah masih berkutat pada rapat dan narasi,” ujarnya.
Menurut Adrizal, akar persoalan telah terjadi jauh sebelum bencana. Izin diterbitkan tanpa pengendalian, aktivitas ilegal dibiarkan, daya tampung lingkungan melemah. Sejak status siaga ditetapkan September lalu, tidak ada mitigasi serius. Saat bencana terjadi, rencana penanggulangan pun tetap kabur.
Ia juga menegaskan negara harus berhenti menjadikan pencitraan sebagai prioritas. Evakuasi dan relokasi sementara di seluruh titik rawan harus segera dilakukan. Mitigasi darurat diperkuat, edukasi kebencanaan dijalankan, dan perencanaan rehabilitasi disiapkan sejak sekarang. “Perempuan, anak-anak, dan kepala keluarga harus diselamatkan demi kemanusiaan,” ucapnya.
Tim Advokasi Ekologis memastikan tekanan hukum dan politik akan terus didorong jika pemerintah tetap abai. Gugatan, tekanan publik, dan advokasi kebijakan akan menjadi jalan. “Keselamatan warga adalah hukum tertinggi. Negara tak punya alasan untuk gagal,” ujarnya. (*)














