PADANG, HARIANHALUAN.ID — Bencana yang berulang kali melanda Sumatera Barat (Sumbar) kembali membuka borok lama penanganan bencana yang kerap kali bersifat reaktif, sporadis, dan minim perencanaan jangka panjang. Belum kunjung ditetapkannya bencana yang melanda tiga provinsi di Sumatera sebagai bencana nasional dinilai memperlihatkan lemahnya sense of crisis negara terhadap kerentanan ekologis daerah.
Wakil Rektor III Universitas Bung Hatta (UBH), Zul Herman secara terbuka menyayangkan lambannya keputusan tersebut. Menurutnya, status bencana nasional bukan hanya soal administrasi, melainkan juga berdampak langsung pada tertundanya langkah-langkah strategis yang seharusnya segera dilakukan untuk melindungi masyarakat dari ancaman bencana susulan.
“Kami sangat menyayangkan kenapa bencana ini tidak ditetapkan sebagai bencana nasional. Pertanyaannya, ini murni pertimbangan teknis atau ada faktor lain di luar itu?” ujar Zul Herman dalam forum diskusi penanganan bencana yang diinisiasi Senator Irman Gusman dan PWI Sumbar di Padang, Senin (15/12) malam.
Zul menilai, dinamika kebijakan di tingkat pusat kerap tidak sejalan dengan urgensi yang dirasakan di daerah. Ia menyinggung bagaimana berbagai isu nasional menyita perhatian publik dan pengambil kebijakan, sementara daerah-daerah rawan bencana seperti Sumbar justru harus menunggu dalam ketidakpastian. “Apapun dinamika di pusat, dampaknya kita rasakan di daerah. Ketika keputusan tertunda, maka langkah cepat di lapangan ikut tertahan,” katanya.
Ia turut menyoroti pola penanganan bencana yang cenderung bersifat darurat dan ad hoc. Setiap kali bencana datang, pemerintah dan masyarakat kembali berada dalam kondisi kelabakan, tanpa sistem kesiapsiagaan yang matang dan berkelanjutan.
“Kita butuh badan penanggulangan bencana yang bekerja secara berkelanjutan, bukan hanya hadir saat bencana terjadi. Selama ini, kita selalu tidak siap dan selalu mengulang pola yang sama,” katanya.














