SOLOK KOTA, HARIANHALUAN.ID — Pada usia yang ke-55, memilih untuk berhenti sejenak, menoleh ke belakang, lalu menatap ke depan dengan ingatan yang utuh. Rapat paripurna istimewa DPRD di Gedung Kubuang Tigo Baleh, Selasa (16/12), bukan sekadar seremoni tahunan. Ia menjelma ruang perenungan tentang kota kecil yang tumbuh dari kesabaran, bukan dari gegap gempita.
Suasana mendadak hening, kala layar besar di depan ruangan besar itu menayangkan kilas balik sejarah. Tahun-tahun awal sejak penetapan Solok sebagai daerah otonom melalui Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 8 Tahun 1970 seolah hadir kembali. Wajah kota tempo dulu, jalan yang sederhana, denyut ekonomi yang perlahan bertemu dengan Solok hari ini yang terus bergerak, berbenah, dan berani berharap.
Di balik visual itu, tersimpan cerita warga. Petani yang sejak subuh menjejak sawah, pedagang yang setia membuka lapak meski hujan turun, guru yang mengajar di ruang kelas sederhana dengan mimpi besar untuk murid-muridnya. Solok tumbuh dari mereka dari kerja sunyi yang jarang tercatat, namun menentukan arah kota.
Rapat paripurna dibuka Ketua DPRD Fauzi Rusli, SE, MM. Hadir Gubernur Sumatera Barat Mahyeldi Ansharullah, Wali Kota Solok Ramadhani Kirana Putra, Wakil Wali Kota Suryadi Nurdal, unsur Forkopimda, tokoh adat, bundo kanduang, hingga para mantan Wali Kota. Namun yang paling terasa justru kehadiran nilai-nilai yang tak kasatmata. Kebersamaan, adat, dan rasa memiliki.
Ninik mamak dan bundo kanduang memasuki ruang sidang dengan pakaian hitam kebesaran adat Solok. Hitam bukan tanda duka, melainkan simbol keteguhan bahwa di tengah perubahan zaman, ada akar yang tetap dijaga agar kota tidak kehilangan arah.
Dalam sambutannya, Fauzi Rusli mengingatkan bahwa hari jadi bukan sekadar ritual mengenang masa lalu. Usia 55 tahun adalah cermin sejauh mana pembangunan benar-benar menyentuh kehidupan warga, sejauh mana layanan publik menghadirkan keadilan, sejauh mana UMKM tumbuh sebagai tulang punggung ekonomi, dan sejauh mana pendidikan memberi harapan baru.
Sejak 16 Desember 1970 hingga 2025, Kota Solok telah dipimpin 13 kepala daerah. Pergantian kepemimpinan membawa warna dan tantangan masing-masing. Tanpa kekayaan sumber daya alam, Solok bertahan dan tumbuh melalui modal sosial kepercayaan antara pemimpin dan masyarakat, serta keyakinan bahwa kemajuan tak selalu lahir dari kelimpahan, tetapi dari kebersamaan.
Tokoh adat LKAAM Kota Solok, Rusli Khatib Sulaiman Malin Marajo, menyebut kebersamaan itulah kekuatan utama Solok. Kota ini hidup karena masyarakatnya mau berjalan bersama, saling menopang di tengah keterbatasan.
Wali Kota Ramadhani Kirana Putra mengajak hadirin melihat Solok dari sisi yang paling manusiawi. Ia menyinggung bencana angin kencang dan banjir yang sempat melanda permukiman warga. Di tengah ujian itu, yang muncul bukan kepanikan, melainkan solidaritas.
Ia melihat tangan-tangan yang saling menggenggam, bahu yang saling menopang, dan doa yang tak putus dipanjatkan.
“Kita mungkin goyah, tapi tidak pernah menyerah. Kita mungkin jatuh, tapi selalu bangkit bersama,” ujarnya.
Bagi Dhani, Solok tidak dibangun dalam semalam. Kota ini tumbuh dari keringat petani, langkah pedagang kecil, doa alim ulama, serta keteguhan ninik mamak menjaga nilai adat basandi syarak, syarak basandi Kitabullah.
Solok hari ini, katanya, bukan sekadar kota yang bertahan, melainkan kota yang memilih bangkit setiap kali jatuh.
“Jika para pendiri telah memberikan segalanya untuk kota ini, apa yang akan kita wariskan untuk anak cucu kelak?” ucapnya, menutup sambutan dengan pertanyaan yang menggantung dan menuntut jawaban bersama.
Gubernur Mahyeldi berharap Pemerintah Kota Solok terus memperkuat pelayanan publik dan semangat gotong royong sebagai identitas masyarakat Minangkabau. Ia menekankan pentingnya keselarasan pemerintah dengan ninik mamak, ulama, dan bundo kanduang agar kemajuan tidak tercerabut dari akar.
Dengan status Kota Beras Serambi Madinah, Mahyeldi optimistis Solok mampu melangkah lebih jauh, menjadi kota yang kuat secara sosial, beradab secara budaya, dan tangguh dalam melindungi generasi muda.
Di usia 55 tahun, Kota Solok berdiri di antara kenangan dan harapan. Ia melangkah ke depan tanpa melupakan jejak. Sebab kota yang besar bukan hanya yang maju, tetapi yang tahu dari mana ia berasal dan ke mana ia hendak menuju. (*)














