PADANG, HARIANHALUAN.ID — Bencana banjir dan tanah longsor yang telah memporak-porandakan sejumlah daerah di Sumatera Barat (Sumbar), tidak hanya meninggalkan puing dan duka, namun juga membuka tabir persoalan klasik setiap kali terjadi bencana. Lambannya kehadiran negara, simpang-siurnya data, hingga absennya komando yang tegas dalam penanganan bencana masih saja terjadi.
Temuan ini mengemuka dalam momentum refleksi kritis Ombudsman RI Perwakilan Sumbar setelah turun langsung ke sejumlah titik terdampak, termasuk daerah-daerah paling terisolasi di Kota Padang, Kamis (18/12).
Kepala Ombudsman Perwakilan Sumbar, Adel Wahidi menyatakan, sejak awal pihaknya telah menyimpulkan satu hal krusial, penanganan bencana yang mestinya membutuhkan percepatan, kini justru terhambat oleh ketidaksinkronan informasi antara data lapangan dengan data pemerintah.
“Kami temukan ada bantuan yang secara administratif disebut sudah disalurkan, tapi faktanya di lapangan belum diterima masyarakat. Ini bukan sekadar salah data, tapi tumpang-tindih informasi yang berbahaya dalam situasi darurat,” ujar Adel.
Ketiadaan satu data bencana kini telah membuat banyak pihak, mulai dari pemerintah, relawan, hingga kelompok masyarakat bekerja dalam kebingungan. Situasi ini diperparah oleh tidak jelasnya garis struktur komando.
“Saya melihat ada yang bekerja sendiri-sendiri, tidak berada dalam sistem komando penanganan bencana. Ini berbahaya. Bencana tidak bisa ditangani dengan egosektoral,” ujarnya.














