(Oleh: Rias Wita Suryani, M.Pd)
Perubahan cara belajar mahasiswa hari ini muncul sangat jelas di kelas-kelas perguruan tinggi. Banyak dosen masih datang dengan modul yang rapi dan bab berurutan, tetapi para mahasiswa sudah lebih dulu belajar dari TikTok, Reels, atau video singkat yang lewat begitu saja di ponsel mereka. Dalam ruang kuliah, dua budaya belajar itu bertemu dan sering kali saling bertabrakan. Fenomena ini—yang oleh sebagian orang disebut sebagai culture shock digital—tidak hanya terjadi di kota besar, tetapi juga terasa di kampus seni seperti ISI Padangpanjang. Kita sedang menyaksikan pergeseran cara belajar yang mungkin tak terhindarkan.
Menurut Data Reportal 2024, lebih dari 70 persen pengguna internet Indonesia yang berusia 18-24 tahun aktif di TikTok. Oleh karena itu, bukan rahasia lagi bahwa video-video pendek itu pada akhirnya menjadi salah satu cara mahasiswa memahami bahasa Inggris, terutama pelafalan dan kosakata. Menurut riset dari Deiktis Journal 2025, meskipun informasi yang sangat informal, sangat mungkin bahwa peningkatan minat belajar bahasa Inggris di antara generasi sosial media Indonesia juga terkait dengan intensitas menonton feed TikTok. Secara umum, temuan semacam itu menunjukkan sejauh mana media sosial memengaruhi cara generasi muda menyerap bahasa asing. Dalam banyak kasus, mereka tidak belajar secara aktif, tetapi pasif.
Kondisi serupa juga diamati di ISI Padangpanjang, sekitar 2.344 mahasiswa S1 dan lebih dari 200 mahasiswa pascasarjana. Kampus ini hidup dengan suasana kreatif sehingga memungkinkan media digital lebih memengaruhi banyak hal. Ini membuat lebih banyak mahasiswa terbiasa membuat konten, melihat tren global, dan mengikuti gaya komunikasi dari kreator internasional. Situasi itu menyebabkan mahasiwa belajar bahasa Inggris sepanjang hari, di luar kelas, bahkan di sela-sela latihan seni. Hal ini menjadi kesempatan baru dan tantangan bagi pengajar.
Masalahnya, kemampuan yang mereka dapatkan dari TikTok sifatnya hanya “kulit luar”. Mahasiswa memang cepat menangkap slang seperti rizz (karisma), lowkey (diam-diam), bet (setuju), slay (hebat), atau no cap (jujur). Tetapi setelah mereka diminta membaca artikel ilmiah, merangkai argumentasi akademik, atau menulis esai dalam bahasa Inggris, banyak yang tersendat. Mereka fasih bergaya ala konten kreator, tetapi mereka tidak akrab dengan struktur bahasa yang dibutuhkan untuk berbicara dan menulis seperti seseorang yang dididik di lingkungan akademik. Dalam banyak kasus, ini berarti perbedaan luar biasa antara daya ukur kemampuan berbicara dengan kemampuan akademik.
Di TikTok, bahasa berkembang dengan kecepatan sulit dikejar oleh buku teks. Ekspresi seperti bruh, lit, simp, atau iykyk (if you know you know) lewat begitu cepat tanpa penjelasan konteks. Banyak kreator yang paling mengutamakan hiburan, bukan ketepatan bahasa dalam video mereka, sehingga mahasiswa mudah salah tafsir. Pastilah kampus selayak ISI Padangpanjang yang sedang bergerak menuju internasionalisasi harus mencermati ini. Bukan hanya bahasa, tetapi juga citra akademik mahasiswa ketika mereka masuk ke dunia profesional.
Larangan tentu saja tidak akan efektif di hadapan fenomena yang sudah menyeruak ini. Maka yang lebih masuk akal adalah menjadikannya bahan bakar pembelajaran. Dosen juga bisa memanfaatkan budaya digital mahasiswa-mahasiswinya, misalnya dengan membuat tugas berbasis proyek, micro-learning, atau menganalisis konten yang biasa mereka tonton. Atau malah, mahasiswa diarahkan untuk membuat video berbahasa Inggris yang benar secara tata bahasa, bukannya yang sedang tren. Dengan begitu, cara-cara seperti ini bisa menjembatani dunia akademik dan dunia sosial mahasiswa.
Namun, di sisi lain, kampus perlu menanamkan literasi digital yang kuat. Para mahasiswa penting memahami bahwa setiap bahasa memiliki ranah penggunaan yang berbeda, dan tidak semua slang cocok digunakan di situasi akademik. Mereka perlu untuk mulai memeriksa kebenaran sejarah, dan mungkin, bahkan kebenaran ilmiah. Kemampuan memilah ini penting bagi masa depan mereka, terutama di industri kreatif dan seni yang kini semakin global. Bagi generasi yang bekerja pada akhir tahun 2050, bahasa Inggris bukan lagi gaya hidup, tetapi alat kerja.
Karena itu, dunia pendidikan tidak perlu mematikan peran TikTok dalam proses belajar. Platform tersebut bisa menjadi pintu yang membuat mahasiswa tertarik, namun fondasinya tetap harus dibangun di ruang kelas. Kombinasi antara buku dan algoritma, antara pedagogi tradisional dan budaya digital, dapat menghasilkan pola belajar yang lebih seimbang. Jika perguruan tinggi telah belajar bagaimana menangani, culture shock bisa berubah menjadi culture shift yang lebih terorganisir. Sebagai hasil, mahasiswa akan lebih siap menghadapi dunia yang menuntut keterampilan bahasa di berbagai level—baik informal, formal, maupun profesional. (*)










