AGAM, HARIANHALUAN.ID — Kepala Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Provinsi Sumatera Barat, Tasliatul Fuadi meninjau langsung lokasi terdampak bencana galodo di Nagari Salareh Aia, Kecamatan Palembayan, Kabupaten Agam Minggu (21/12/2025).
Di hadapan hamparan batu raksasa, kayu gelondongan, dan lumpur yang meluluhlantakkan permukiman, Fuadi menyebut peristiwa ini sebagai peringatan keras tentang rapuhnya ekosistem hulu daerah aliran sungai (DAS).
Dalam video yang diunggah melalui akun Facebook resminya, Fuadi tampak berdiri di bekas aliran galodo yang mengoyak kampung tersebut. Alur sungai berubah drastis, menyisakan endapan material alam berukuran ekstrem yang menandai dahsyatnya kekuatan air bah dari kawasan perbukitan.
“Seorang tetua di sini, usianya lebih dari 70 tahun, menyampaikan kepada saya bahwa galodo kali ini adalah yang paling dahsyat sepanjang hidupnya. Ia mengatakan, belum pernah ada kejadian seperti ini sebelumnya,” ujar Fuadi kepada Haluan Minggu (21/12/2025).
Kesaksian itu bukan sekadar cerita lisan. Menurut Fuadi, satu anggota keluarga tetua tersebut hingga kini masih dinyatakan hilang, belum ditemukan jasadnya. Sang bapak tua pun terpaksa mengungsi ke rumah kerabatnya di Kabupaten Pasaman, meninggalkan tanah kelahiran yang kini porak-poranda.
Pantauan DLH Sumbar di lapangan memperlihatkan pemandangan yang mengguncang nalar. Batu-batu raksasa, sebagian berukuran mendekati besar rumah atau mobil, bercampur kayu hasil kikisan lereng bukit, terbawa arus dari hulu hingga ke area persawahan sebelum menghantam pemukiman warga di pinggir jalan.
“Aliran sungainya sebenarnya cukup dalam. Ini menjelaskan bagaimana batu sebesar itu bisa berpindah jauh hingga ke landaan galodo. Daya rusaknya luar biasa,” kata Fuadi.
Jejak kehancuran itu, menurutnya, menegaskan bahwa galodo bukan sekadar peristiwa alam biasa, melainkan akumulasi dari tekanan ekologis di wilayah hulu DAS** yang dibiarkan berlangsung lama.
Fuadi mengungkapkan, berdasarkan informasi yang diperoleh di lapangan, Wali Nagari Salareh Aia mengakui adanya sejumlah titik tutupan hutan yang telah beralih fungsi menjadi perkebunan sawit. Namun hingga kini, status legalitas lahan-lahan tersebut belum jelas.
“Diperlukan inventarisasi penggunaan lahan secara menyeluruh, bahkan audit lingkungan pada kawasan terparah yang menyumbang korban meninggal dunia terbanyak,” tegasnya.
Palembayan sendiri tercatat sebagai wilayah dengan jumlah korban tewas dan hilang tertinggi akibat galodo dalam rangkaian bencana yang melanda tiga provinsi.
Fakta ini, menurut Fuadi, semestinya menjadi dasar kuat bagi negara untuk hadir lebih tegas dalam pengelolaan dan perlindungan kawasan hulu.
Bagi DLH Sumbar, tragedi Salareh Aia bukan sekadar catatan bencana, melainkan alarm ekologis
Kerusakan tutupan hutan, lemahnya pengawasan alih fungsi lahan, serta abainya prinsip kehati-hatian dalam pengelolaan DAS telah menciptakan kondisi rawan yang kini dibayar mahal oleh masyarakat.
“Sungguh dahsyat bencana ini. Inilah mengapa menjaga kelestarian wilayah hulu DAS bukan pilihan, tapi keharusan,” ujar Fuadi menutup.
Galodo Palembayan meninggalkan luka mendalam, sekaligus pertanyaan besar: berapa banyak lagi nyawa yang harus hilang sebelum perlindungan lingkungan benar-benar ditegakkan?
Di tengah puing dan lumpur, Salareh Aia seakan mengingatkan bahwa ketika alam kehilangan penjaganya, manusia berada di garis depan kehancuran. (h/fzi).














