PADANG, HARIANHALUAN.ID — Bencana ekologis yang melanda tiga provinsi di Sumatera pada akhir November lalu masih menyisakan setumpuk pekerjaan rumah. Seiring dengan pemulihan pascbencana, pemerintah dihadapkan pada pemulihan kerusakan lingkungan yang ditengarai menjadi penyebab utama bencana yang menewaskan ribuan orang itu.
Pakar Lingkungan Universitas Negeri Padang (UNP), Prof. Eri Barlian menegaskan bahwa eskalasi bencana dalam beberapa tahun terakhir menunjukkan keterlibatan kuat aktivitas manusia, khususnya di kawasan hulu daerah aliran sungai (DAS).
Menurutnya, perubahan iklim memang memperparah intensitas hujan, namun kerusakan ekologis menjadi faktor penentu berubahnya banjir biasa menjadi banjir bandang yang destruktif.
“Kalau hanya hujan ekstrem, mestinya yang terjadi sebatas banjir. Ketika yang datang justru banjir bandang dengan kayu gelondongan, lumpur pekat, dan longsoran besar, itu artinya daya dukung lingkungan di hulu sudah runtuh. Bentang alam kita berubah karena ulah manusia,” ujar Eri kepada Haluan, Kamis (18/12) lalu.
Ia menjelaskan, maraknya pembalakan liar dan alih fungsi lahan membuat kawasan hulu kehilangan kemampuan menyerap dan menahan air. Ketika hujan lebat datang bersamaan dengan pasang air laut, sistem alam tak lagi mampu bekerja sebagai penyangga.
“Hujan hanya memicu banjir, tetapi banjir bandang dan longsor justru membuka seluruh bukti kerusakan hutan. Daerah dengan curah hujan tinggi namun hutannya terjaga tidak akan hancur seperti yang kita saksikan sekarang,” tuturnya














