Oleh: Joko Sutopo (Pemerhati Lingkungan)
Sejak mula kehidupan disemai, Allah menitipkan bumi kepada manusia sebagai amanah agung—bukan untuk dirampas, tetapi untuk dijaga dengan hati yang penuh tanggung jawab. Namun perlahan, manusia lupa. Kita menikmati teduhnya hutan tanpa menanam, menikmati jernihnya sungai tanpa menjaga, menikmati tanah yang subur tanpa pernah bersyukur melalui tindakan.
Kini bumi tak lagi diam. Ia mengirim tanda yang tak dapat kita abaikan: jeritan ekologis yang menyayat nurani. Hujan yang mestinya menjadi berkah turun sebagai peringatan. Bukit-bukit yang dulu hijau kini botak dan rapuh, kehilangan pelukan pepohonan yang selama ini menahan air dengan kesetiaan. Sungai-sungai pun tak lagi mengalir tenang; mereka tersumbat oleh sampah, sedimen, dan luka-luka yang ditorehkan tangan manusia.
Akhir-akhir ini, luka itu tampak dalam wujud paling menggetarkan. Galodo dan banjir bandang menggulung Sumatera Barat, Aceh, dan Sumatera Utara. Air bah bukan sekadar hasil hujan deras tetapi karena alam kehilangan penjaganya.
Hutan dibabat tanpa belas kasihan.Akar-akar yang dulu mencengkeram tanah telah lenyap. Bukit-bukit kehilangan kekuatan menahan arus yang menggila. Maka meluncurlah lumpur, batu, dan kay. Bukan sekadar fenomena alam, tetapi balasan terhadap kerusakan ekologis yang kita biarkan dan kita ciptakan.
Di balik deru air dan runtuhan tanah itu, seakan bumi berbisik dalam pilunya. “Aku pernah menjaga kalian… Mengapa kalian merusakku?”
Bencana ini bukan sekadar musibah; ini adalah teguran Ilahi, panggilan agar manusia kembali pada fitrah sebagai khalifah bumi. Kita telah mengoyak keseimbangan yang Allah ciptakan dengan sempurna dan alam pun meronta karena tak mampu lagi menahan beban.










