PADANG, HARIANHALUAN.ID—Lembah Anai kembali berada di persimpangan sejarah. Bukan hanya sebagai kawasan lindung dan jalur vital penghubung sejumlah daerah di Sumatera Barat (Sumbar), tetapi juga sebagai ruang warisan dunia yang kini dihadapkan pada pilihan sulit: mempertahankan jejak peradaban atau mengorbankannya demi keselamatan dan akses publik.
Pascabencana galodo yang memutus total akses jalan nasional di kawasan Jembatan Kembar dan Mega Mendung Silaiang beberapa waktu lalu, mencuat wacana pembongkaran dua situs cagar budaya berupa bekas jembatan jalur Kereta Api (KA) 171 dan KA 163 di Lembah Anai.
Dua jembatan tersebut merupakan bagian dari jalur kereta api bersejarah peninggalan kolonial yang telah ditetapkan sebagai warisan dunia oleh UNESCO.
Kepala Balai Pelestarian Kebudayaan (BPK) Wilayah III Sumbar, Nurmatias membenarkan adanya agenda pembahasan serius terkait rencana tersebut. Pihak BPK telah menjadwalkan rapat koordinasi lintas sektor untuk membahas masa depan dua jembatan ikonik itu.
Ia menjelaskan, rapat koordinasi tersebut melibatkan Balai Pelaksanaan Jalan Nasional (BPJN), pemerintah daerah, unsur kebencanaan, serta pemangku kepentingan terkait lainnya. Forum ini diharapkan menjadi ruang pertukaran pandangan antara kepentingan pelestarian cagar budaya dan kebutuhan keselamatan infrastruktur di kawasan rawan bencana.
Secara teknis, Nurmatias mengakui bahwa kondisi konstruksi kedua jembatan memang tidak lagi ideal. Fondasi jembatan dua lengkung di kawasan Silaiang, misalnya, telah mengalami kerusakan akibat berulang kali diterjang galodo, meskipun secara visual masih tampak berdiri kokoh. “Sementara untuk jembatan yang berada di dekat air mancur Lembah Anai, itu sering kali membuat truk tersangkut karena keterbatasan ruang bebas,” katanya.
Bagi BPK Wilayah III, kata Nurmatias, pembongkaran dua jembatan bersejarah yang pernah menjadi saksi bisu pergerakan ekonomi dan logistik Sumbar sejak era kolonial tentu bukan opsi yang diinginkan.
Statusnya sebagai warisan dunia UNESCO menjadikan kedua struktur itu memiliki nilai sejarah, arsitektural, dan simbolik yang tak tergantikan. Namun demikian, ia menyadari bahwa setiap pihak memiliki pertimbangan masing-masing, terutama menyangkut keselamatan pengguna jalan, risiko bencana lanjutan, serta fungsi strategis kawasan Lembah Anai sebagai jalur utama transportasi nasional.
“Kita tentu berharap pembongkaran bisa dihindari. Tetapi aspek keselamatan, mitigasi bencana, dan perlindungan kawasan lindung juga tidak bisa diabaikan,” katanya.
Nurmatias menegaskan, keputusan yang akan diambil haruslah menjadi pilihan terbaik dan paling bijak, dengan tetap menempatkan perlindungan warisan dunia sebagai prioritas utama.
“Bagaimanapun, dua ruas jembatan itu telah berstatus warisan dunia UNESCO yang semestinya dilindungi keberadaannya. Mudah-mudahan kita menemukan jalan tengah yang tidak menghapus sejarah,” ujarnya. (h/fzi)














