PADANG, HARIANHALUAN.ID Aktivitas pertambangan galian C jenis sirtu di kawasan Gunung Sariak, Kota Padang, dinilai telah melampaui ambang toleransi lingkungan dan menjadi ancaman serius bagi keberlanjutan Daerah Aliran Sungai (DAS) Kuranji serta keselamatan warga di wilayah hilir.
Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Sumatera Barat menegaskan, demi keselamatan masyarakat dan lingkungan, seluruh tambang-tambang tersebut harus dihentikan secara permanen.
Kepala Divisi Advokasi Kelembagaan WALHI Sumbar, Tomi Adam menyatakan bahwa banjir bandang yang kembali melanda kawasan Kuranji bukanlah peristiwa alam semata, melainkan akumulasi dari kerusakan struktural ekosistem hulu akibat aktivitas tambang yang dibiarkan berlangsung bertahun-tahun.
“Tambang sirtu di Gunung Sariak berada di tengah DAS Kuranji, dengan sumber air langsung dari perbukitan Bukit Barisan. Ketika kawasan ini dirusak, dampaknya tidak berhenti di lokasi tambang, tetapi langsung menghantam wilayah hilir dan pemukiman warga,” ujar Tomi Adam Sabtu (27/12/2025).
Pasca banjir bandang yang berdampak luas di Kota Padang, Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) menyegel lima perusahaan tambang sirtu di Sumatera Barat, yakni PT Parambahan Jaya Abadi (PJA), PT Dian Darrel Perdana, CV Lita Bakti Utama, CV Jumaidi, dan PT Solid Berkah.
KLH menilai aktivitas perusahaan-perusahaan tersebut telah memicu sedimentasi masif yang bermuara ke Sungai Batang Kuranji.
Dalam hasil pengawasan KLH, ditemukan sejumlah pelanggaran serius, antara lain ketiadaan sistem drainase tambang yang memadai, aktivitas tambang yang berjarak sangat dekat dengan pemukiman warga, serta kelalaian dalam pengendalian erosi dan air larian (run-off). Kondisi ini terbukti mempercepat pendangkalan sungai dan meningkatkan risiko banjir.
WALHI Sumbar menilai temuan KLH tersebut hanya mengonfirmasi persoalan yang sejak lama disuarakan masyarakat sipil. Berdasarkan analisis spasial WALHI, batas terluar Wilayah Izin Usaha Pertambangan (WIUP) PT PJA hanya berjarak sekitar 45 meter dari pemukiman warga, jauh di bawah ketentuan jarak aman minimal 500 meter sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Tahun 2014.
“Ini bukan sekadar pelanggaran administratif, tapi ancaman langsung terhadap keselamatan warga. Negara seharusnya tidak membiarkan aktivitas tambang berdiri sedekat ini dengan rumah masyarakat,” tegas Tomi.
Tak hanya melanggar ketentuan jarak aman, sebagian wilayah izin tambang PT PJA juga diketahui tidak sesuai dengan Rencana Detail Tata Ruang (RDTR) Kota Padang sebagaimana diatur dalam Peraturan Wali Kota Padang Nomor 5 Tahun 2023.
WALHI menemukan bukaan tambang yang masuk ke zona pertanian hortikultura, yang diduga kuat melanggar Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang.
Temuan lainnya, berdasarkan Citra Satelit Vantor Tahun 2025, kegiatan pertambangan dilakukan dengan membuka hampir seluruh wilayah izin secara bersamaan tanpa pembagian blok penambangan dan tanpa reklamasi progresif.
Praktik ini bertentangan dengan prinsip good mining practice sebagaimana diatur dalam Permen ESDM Nomor 26 Tahun 2018 dan tidak sesuai dengan dokumen Rencana Kerja dan Anggaran Biaya (RKAB) yang menjadi dasar operasional tahunan perusahaan tambang.
Catatan penegakan hukum juga menunjukkan persoalan serius. Pada Desember 2024, PT Parambahan Jaya Abadi sempat ditangkap oleh Polresta Padang karena diduga melanggar ketentuan pertambangan sebagaimana diatur dalam Pasal 35 ayat (3) huruf c dan g serta Pasal 104 atau 105 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Minerba.
“Fakta ini menunjukkan bahwa masalahnya bukan sekadar pengawasan lemah, tetapi kegagalan negara dalam mengendalikan industri ekstraktif di kawasan rawan bencana,” kata Tomi Adam.
WALHI Sumbar mengingatkan, jika aktivitas tambang sirtu di Gunung Sariak tidak dihentikan secara total, alih fungsi lahan akan terus merambat ke kawasan perbukitan, merusak sistem hidrologi alami, serta meningkatkan ancaman banjir, longsor, dan krisis air bersih bagi warga Kota Padang di masa depan.
Atas dasar itu, WALHI Sumbar mendesak penghentian permanen seluruh aktivitas tambang sirtu di Gunung Sariak, penegakan hukum yang tegas terhadap perusahaan pelanggar, pemulihan lingkungan DAS Kuranji secara menyeluruh dan terukur, serta evaluasi total seluruh perizinan tambang di kawasan rawan bencana dan dekat pemukiman.
“Pemulihan lingkungan bukan pilihan, tetapi keharusan. Jika negara terus abai, maka bencana ekologis yang lebih besar hanya tinggal menunggu waktu,” tutup Tomi Adam. (*)














