Oleh:
Zennis Helen
Dosen Hukum Tata Negara, Pemilu, dan Kepartaian Unes Padang
Negara identik dengan organisasi jabatan-jabatan. Begitu Logemann, menyebutnya. Negara menjadi tempat bersemainya jabatan-jabatan. Negara dihormati dan berwibawa karena ada jabatan-jabatan tersebut. Jabatan-jabatan tersebut menciptakan dua kelas yang amat timpang, yakni ada orang yang memerintah, dan ada orang yang diperintah. Hubungan keduanya kerap seperti bumi dan langit.
Ketika saya mengajar mata kuliah Hukum Administrasi Negara di Fakultas Hukum Universitas Ekasakti pada mahasiswa sering saya sampaikan: orang yang memerintah jumlahnya sedikit. Ia disebut primus interpares (orang terbaik dari yang terbaik). Ia berada di lembaga suprastruktur politik ketatanegaraan, pengemban amanat rakyat seperti legislatif, eksekutif dan yudikatif. Sementara orang yang diperintah, jumlahnya banyak. Dalam konstitusi disebut dengan rakyat.
Orang yang memerintah ini, adalah yang memangku jabatan kenegaraan, yang jabatan itu disebut secara limitatif dalam konstitusi, dan ada pula jabatan-jabatan tersebut disebutkan dalam UU atau biasanya berbentuk jabatan-jabatan komisi-komisi negara, yang berjibun jumlahnya saat ini. Jumlahnya berjibun, tapi kewenangannya hanya sebagai pemberi rekomendasi.
Siapakah mereka orang yang memerintah tersebut? Mereka adalah mulai dari jabatan Presiden/Wakil Presiden, Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Perwakilan Daerah (DPD), Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), Mahkamah Agung (MA), dan Mahkamah Konstitusi (MK).
Dan, jabatan komisi-komisi negara seperti Komnas HAM, Komisi Pemilihan Umum (KPU), Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Komisi Ombudsman Nasional (KON), Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), Komnas Perlindungan Anak (PA), Komnas Perlindungan Saksi dan Korban, serta aneka komisi negara lainnya. Komisi negara disebut sebagai lembaga penunjang ketatanegaraan.
Jabatan-jabatan vital yang disebut secara limitatif dalam konstitusi, berisi orang-orang mulia dan terhormat. Bersua dengannya, tidaklah mudah. Butuh syarat administratif yang rumit. Setidak-tidaknya, buat janji satu atau dua hari sebelumnya. Itu pun belum pasti bisa ketemu. Bisa jadi, pada waktu yang telah disepakati, ia rapat mendadak atau menghadiri undangan kolega dan lain sebagainya.
Bedanya, ada jabatan yang dipilih dalam pemilihan umum (pemilu), seperti DPR, DPD, Presiden/Wakil Presiden, Gubernur, Bupati dan Wali Kota, dan ada jabatan-jabatan dalam konstitusi yang tidak dipilih dalam pemilu seperti MA, MK, BPK, termasuk pula jabatan komisi-komisi negara.
Tulisan ini hendak menyigi dua hal penting. Pertama, untuk apa jabatan diadakan dalam Konstitusi? Kedua, apa yang dihindari dari jabatan itu?
Jabatan sebagai Penolong
Jabatan-jabatan yang disebutkan dalam UUD NRI 1945 adalah jabatan-jabatan utama ketatanegaraan Indonesia. Jabatan-jabatan itu direbut dalam kontestasi pemilu seperti jabatan Presiden/Wakil Presiden, anggota DPR, DPD, DPRD. Tak sembarang orang mendudukinya. Butuh usaha dan modal yang luar biasa. Kalau anda tidak punya uang. Jangan coba-coba, biaya yang harus dikeluarkan cukup mahal.
Tak sedikit dana negara digelontorkan untuk mendapatkan jabatan tersebut. Bahkan mencapai triliunan rupiah. Tak sedikit pula nyawa melayang akibat mempersiapkan ruang untuk kontestasi jabatan-jabatan tersebut. Tak pelak, orang yang diperintah (baca: rakyat) sibuk datang ke bilik suara dalam pemilu untuk memenuhi ambisi orang yang memerintah. Saking pentingnya, jabatan tersebut, ada pemilu ulang hanya untuk memilih satu organisasi jabatan saja. Namun, kerap terjadi bila jabatan sudah di tangan, lupa sama orang yang memberi jabatan tersebut. Ia akan diingat kembali, bila kontestasi jabatan sudah tiba.
Lalu, apa esensinya jabatan-jabatan tersebut disediakan konstitusi? Jabatan-jabatan tersebut haruslah digunakan sebagai penolong. Atau jabatan yang menolong. Menolong siapa? Tentu saja, menolong orang yang diperintah yang jumlahnya banyak tadi. Bukan sebagai penggolong (orang yang diperintah).
Jabatan (kekuasaan) bisa digunakan untuk menggerakkan struktur-struktur negara mulai dari yang paling atas sampai paling bawah sehingga daya tolong yang dihasilkannya bisa menyeluruh (inklusif). Dengan uang kita bisa menolong banyak orang, dengan kekuasaan (jabatan) kita bisa menolong semua orang (Zulkifli Hasan, ”Kekuasaan yang Menolong” dalam Totok Daryanto, 2019).
Jabatan-jabatan yang tercantum jelas dalam konstitusi harus digunakan sebagai penolong. Cukup banyak manusia yang miskin di negara ini, orang yang belum mendapat pekerjaan, orang yang secara fisik tidak beruntung dan orang yang papa secara tiba-tiba karena dilanda bencana banjir bandang dan tanah longsor seperti yang melanda Sumatera Barat, Sumatera Utara, dan Aceh.
Agar orang yang disebutkan di atas, bisa sejahtera, bisa tersenyum dengan sumringah, dan sejajar dengan orang lain maka kekuasaan harus datang untuk menolong mereka sehingga ia tak terjerembab lagi dalam kubangan kemiskinan yang amat dalam. Ia tak bisa dibiarkan berjuang sendiri, ia akan kalah makanya dibutuhkan perlakuan khusus dari negara.
Bukan Aji Mumpung
Jabatan-jabatan yang disediakan UUD NRI 1945. Tak boleh digunakan sebagai momentum aji mumpung. Selagi berjabatan, gunakan untuk menimba kekayaan, gunakan untuk kepentingan pribadi dan keluarga. Jamak hari ini, kekuasaan tidak digunakan sebagai penolong. Tapi untuk hidup bermewah-mewah, glamor dan lain sebagainya.
Belum genap lagi satu tahun berjabatan sebagai bupati, gubernur, dan menteri, sudah ditangkap oleh KPK. Ini menandakan bahwa jabatan tidak digunakan untuk kemaslahatan umat manusia. Satu hal yang harus dipahami bahwa jabatan-jabatan itu bersumber dari orang yang diperintah dalam pemilu, setelah jabatan-jabatan itu berada dalam genggaman, ia harus digunakan untuk mensejahterakan orang yang diperintah. Semoga. (*)










