PADANG, HARIANHALUAN.ID – Kabut asap dampak Kebakaran Hutan dan Lahan terus menjadi bencana musiman lantaran pemerintah dinilai gagal membangun sistem pencegahan dan penanggulangan bencana kabut asap terintegrasi lintas wilayah dan sektoral sebagaimana amanat Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 3 tahun 2020.
Kondisi itu diperparah dengan masih lemahnya komitmen pemerintah daerah dan aparat penegak hukum dalam menindak tegas atau serta mencegah terjadinya kebakaran lahan yang kerap kali terjadi di kawasan gambut, hutan produksi maupun Areal Penggunaan Lain (APL).
Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Padang menyebut penurunan kualitas udara di Kota Padang dan sebagian besar wilayah Sumbar lainnya, selain disebabkan asap kiriman dari provinsi tetangga, juga dipicu oleh terjadinya kebakaran hutan dan lahan di sejumlah Kabupaten Kota di Sumatera Barat.
“Titik api di Sumatera Barat berada di Solok Selatan, Pasaman Barat dan Pesisir Selatan. Namun titik api terbanyak masih berada di kawasan gambut yang selama ini memang rawan terbakar di Pesisir Selatan,” ujar Kepala Bidang Agraria dan Sumber Daya Alam LBH Padang, Diki Rafiqi, kepada Haluan Rabu (18/10).
Diki Rafiqi menjelaskan, pemerintah sebenarnya telah menyusun pedoman penanggulangan bencana kabut asap lintas sektoral antar kementerian dan institusi. Hal itu tertuang dalam Inpres 3 tahun 2020.
Namun demikian, Inpres yang berisi pengaturan dan pembagian kewenangan antar Kementerian, Kepala Daerah dan institusi terkait ini, masih belum terimplementasi dengan baik meskipun Gubernur selaku kepala daerah telah ditunjuk sebagai ketua tim penanggulangan dan penanganan dampak Karhutla.
“Ini bisa jadi disebabkan oleh keterbatasan pendanaan APBD maupun APBN. Akibatnya Inpres yang telah dibuat ini tidak berjalan dengan maksimal,” katanya.
Menurut Diki, Pemerintah di level provinsi, memang memiliki berbagai keterbatasan baik dalam segi penganggaran maupun kewenangan. Di tengah keterbatasan ini, semestinya upaya pencegahan kebakaran hutan dan lahan mesti dikedepankan oleh pemerintah dan aparat penegak hukum.
Langkah dan komitmen tegas inilah yang sampai saat ini masih belum terlihat dilakukan oleh pemerintah di daerah. Termasuk dalam menyikapi terjadinya kebakaran hutan dan lahan yang terjadi di dalam areal konsesi perusahaan perkebunan sawit seperti yang saat ini banyak terbakar di Pesisir Selatan.
“Seharusnya perusahaan-perusahaan pembakar hutan harus ditindak tegas, jangan sampai dibiarkan. Apalagi saat ini wilayah hutan yang terbakar bisa dilihat secara jelas melalui citra satelit,” kata dia.
Sejauh ini, sambung Diki, LBH secara kelembagaan menilai bahwa pemerintah daerah masih terpaku dengan agenda-agenda seremonial penanggulangan bencana kabut asap dan pemadaman api.
Namun efek jera yang semestinya diberikan kepada para perusahaan dan individu pembakar lahan di Sumatera Barat, justru masih belum ada sama sekali hingga saat ini.
“Contohnya saja di lahan APL dan gambut seluas 17.000 yang sampai saat ini masih terbakar di Pesisir Selatan. Sampai saat ini masih belum ada upaya pemerintah untuk melakukan pemadaman dan menghentikannya,” ungkap Diki.
DIki menambahkan, pemerintah di seluruh level, sudah semestinya merumuskan Perda Penanggulangan Kebakaran Hutan dan Lahan. Namun sampai saat ini, produk hukum tersebut bahkan tak kunjung lahir di level pemerintahan Provinsi sekalipun.
“Artinya semuanya memang berpulang kepada komitmen pemerintah. Alasan bahwa ini adalah asap kiriman tidak bisa dibenarkan, Sebab faktanya, di daerah Sumbar sendiri titik api memang masih ada dan itu pun sampai saat ini masih belum bisa dikendalikan,” tutupnya. (h/fzi)














