PADANG, HARIANHALUAN.ID — Ketua Forum Mahasiswa Mentawai (FORMMA) Sumatera Barat (Sumbar), Heronimus Eko Pintalius Zebua, meminta kedatangan Presiden Joko Widodo ke Kabupaten Kepulauan Mentawai hendaknya tidak hanya melahirkan janji-janji manis politik jelang Pemilu 2024 saja.
Lebih dari itu, masyarakat Kabupaten Kepulauan Mentawai butuh komitmen serta aksi nyata dari pemerintah daerah dan pusat untuk melepaskan mereka dari keterbatasan akses jaringan internet, listrik, dan infrastruktur transportasi darat, maupun laut yang masih membelenggu masyarakat di Bumi Sikerei.
“Kita berharap wacana-wacana yang disampaikan Gubernur maupun Presiden di Mentawai kemarin tidak hanya menjadi lips service saja. Masyarakat Mentawai butuh implementasi serius dari komitmen Presiden terkait kebutuhan BTS di Mentawai kemarin,” ujarnya kepada Haluan Minggu (29/10).
Menurut aktivis Mentawai yang _akrab disapa Nimus ini_, keterbatasan akses jaringan telekomunikasi dan internet yang terjadi di Kabupaten Kepulauan Mentawai selama ini, telah membuat Mentawai jauh tertinggal dari segi apapun dari daerah lainnya di Sumbar.
Keterbatasan itu, berdampak banyak bagi sektor perekonomian masyarakat serta jalannya roda pemerintahan daerah di Kabupaten Kepulauan Mentawai seperti yang disampaikan Kementerian Pemberdayaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Kemen Pan-RB) baru-baru ini.
“Selama 24 tahun ekonomi daerah di Kabupaten Kepulauan Mentawai masih bermasalah dengan akses internet dan juga soal pendidikan. Ini harus kita dorong. Negara harus hadir di Mentawai melalui program-program pendidikan,” tegasnya.
Nimus bercerita, anak-anak yang bersekolah tanpa meja dan kursi, serta anak-anak yang harus merenangi sungai dan mengarungi lautan agar bisa sampai ke sekolah, adalah pemandangan sehari-hari bagi masyarakat Mentawai sampai saat ini. “Bagaimana kita bercerita soal pembangunan Sumber Daya Manusia (SDM) yang unggul dan produktif. Sementara fasilitas pendidikan tidak terpenuhi sampai ke pelosok dan pedalaman. Ini harus menjadi perhatian khusus bagi negara,” tambahnya.
Ia menilai, kebijakan Pemprov Sumbar yang telah menganggarkan 30 persen APBD bagi sektor pendidikan, tidak terasa dampaknya sampai ke Mentawai. Kondisi ini mesti disadari dan segera ditindak lanjuti oleh pemerintah daerah dan pusat. “Jadi, janji presiden Jokowi bagi Mentawai ini, jangan sampai menjadi lips service dan janji-janji di tahun politik saja,” kata dia mengamini bahwa selama ini masyarakat Mentawai sudah kenyang dengan janji-janji.
PLTBm Bambu Gagal Terangi Mentawai
Persoalan lainnya yang masih menghantui masyarakat Kabupaten Kepulauan Mentawai saat ini, sambung Nimus, adalah terbatasnya ketersedian pasokan listrik. Saat ini listrik di Mentawai hanya menyala pada jam-jam tertentu saja.
Padahal, sebelumnya pemerintah telah pernah menggulirkan program bernama Mentawai Terang yang di dalamnya juga termasuk pembangunan tiga Pembangkit Listrik Tenaga Biomassa (PLTBm) di Desa Saliguma, Madobag dan Matotonan.
“PLTBm Biomassa Bambu yang dibangun BAPPENAS dengan menggunakan dana hibah senilai hampir 200 miliar rupiah dari MCA di tiga titik desa itu adalah proyek gagal. Proyek itu dilakukan tanpa memperhatikan potensi lokal Mentawai,” ucapnya.
Ia menjelaskan, PLTBm yang sempat digadang-gadang akan memenuhi kebutuhan listrik Mentawai itu, hanya beroperasi selama kurang lebih empat bulan usai diresmikan. Salah satu penyebabnya, adalah kekurangan pasokan bahan bakar bambu.
“Makanya, kita memang harus betul-betul menginventarisir, apakah Mentawai butuh penerangan yang bersumber dari tenaga air, diesel dan sebagainya. Kemampuan dan produktivitas lokal mentawai ini harus benar-benar diperhatikan dan dipertimbangkan,” tegasnya.
Nimus menilai, pemerintah pusat selama ini hanya melihat Mentawai dari jauh dan tidak melihat secara detail apa yang sebenarnya menjadi kebutuhan bagi masyarakat Mentawai. “Inilah yang kita sesalkan. Kita hanya bangga dan senang menerima dana hibah saja. tetapi akhirnya berdampak buruk bagi masyarakat. Program Mentawai Terang yang dulu dicita-citakan kini malah menjadi mentawai gelap karena produktivitas dan ketersediaan bambunya tidak ada,” tutupnya. (h/fzi)














