PADANG, HARIANHALUAN.ID — Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Sumatera Barat (Sumbar) mencatat laju abrasi pantai Sumbar saat ini bahkan sudah mencapai 4 sampai 10 meter per tahunnya. Kondisi ini meningkat berkali-kali lipat dibandingkan dengan laju abrasi sepuluh tahun yang lalu. Kondisi ini berdampak kepada ribuan kepala keluarga (KK) nelayan yang akan terancam kehilangan tempat tinggal dan wilayah kelolanya akibat terjadinya abrasi pantai.
Kepala Departemen Advokasi WALHI Sumbar, Tommy Adam, mengatakan, perlu langkah serius dan konkret dari pemerintah daerah untuk menyelamatkan wilayah daratan pesisir pantai Sumbar yang kian hari makin berkurang dikikis gelombang abrasi. “Laju abrasi pantai Sumbar saat ini bahkan sudah mencapai 4 sampai 10 meter per tahunnya. Meningkat berkali-kali lipat dibandingkan dengan laju abrasi sepuluh tahun yang lalu,” ujarnya kepada Haluan Selasa (16/1) di Padang.
Disebutkan Tommy, pemerintah daerah perlu menyusun ulang dokumen rencana zonasi serta detail tata ruang yang sampai saat ini masih banyak menyalahi aturan yang mengabaikan wilayah-wilayah tertentu yang seharusnya tetap menjadi daerah konservasi seperti hutan bakau, mangrove dan nipah. “Beberapa titik abrasi pantai terparah berdasarkan amatan Walhi Sumbar, diantaranya adalah di daerah Sungai Limau dan Gasan di Kabupaten Padang Pariaman serta di sejumlah lokasi di Kota Padang seperti di Pantai Padang, Purus, Pasia Jambak, Pasie Nan Tigo, Muaro, dan sebagainya,’ katanya.
Berdasarkan tinjauan lapangan Walhi Sumbar di sejumlah daerah itu, lanjut Tommy, akan ada ribuan kepala keluarga nelayan yang akan terancam kehilangan tempat tinggal dan wilayah kelolanya akibat terjadinya abrasi pantai. “Sudah banyak rumah masyarakat yang bagian belakangnya sudah habis dan langsung menghadap gelombang atau ombak. Dampaknya sudah sangat serius baik dari segi hilangnya rumah masyarakat atau bahkan terjadinya banjir rob seperti di Pasaman maupun daerah lainnya,” kata Tommy.
Ia menilai, kerusakan lingkungan akibat abrasi, juga semakin diperparah dengan banyaknya persoalan yang terjadi di seputar penatakelolaan zonasi wilayah pesisir pantai Sumbar, terutama akibat terjadinya pembiaran alih fungsi kawasan lindung wilayah pesisir. “Ada pembiaran di wilayah-wilayah yang bukan dari perkotaan, hal itu terjadi di Kota Padang dan Padang Pariaman. Dua kota ini tidak lagi memainkan peran untuk melindungi wilayah sempadannya dari abrasi,” bebernya.
Kondisi yang terjadi di dua kota itu, kata Tommy, terjadi banyak pembiaran atas tumbuhnya bisnis tambak-tambak udang ilegal di daerah-daerah yang seharusnya menjadi kawasan lindung atau areal vegetasi tanaman Mangrove, bakau atau Nipah. “Di dua kota ini, bahkan banyak ditemukan tambak udang berada di titik lokasi nol meter pasang tertinggi. Bukan lagi di 100 tapi sudah di 0 meter. Ini terjadi di tambak udang yang berada di dekat Bandara Internasional Minangkabau (BIM),” ungkap Tommy.














