Karena pendekatan penganggaran yang digunakan pada tahun 2025 ini sama sekali baru bagi pemerintah daerah yang terbiasa bekerja dengan anggaran jumbo, Prof. Hasdi Aimon menganggap wajar jika nanti terjadi sedikit kegamangan dalam praktiknya.
“Pekerjaannya sebenarnya tetap sama saja, tapi tidak ada lagi pemborosan seperti sebelumnya. Jadi kontrolnya harus ketat, jika kontrolnya tidak ketat, output yang akan dicapai bisa saja gagal. Di sinilah perlunya kontrol dari legislator;” ucapnya.
Konsekuensi dari kebijakan efisiensi anggaran ini adalah berkurangnya anggaran yang bisa dibelanjakan oleh pemda. Situasi ini tentu membuat multiplier effect belanja pemerintah daerah tidak akan se-berdampak sebelumnya bagi perputaran ekonomi di daerah.
“Namun akan sangat sayang sekali jika output itu ternyata masih tidak bisa dicapai. Jika output kinerja masih bisa tercapai, multiplier effect-nya akan tetap luar biasa,” ucapnya.
Ia juga mengakui adanya kekhawatiran publik bahwa para birokrat di level nasonal maupun di daerah sudah sangat terbiasa bekerja dengan dana yang cukup jumbo. Untuk mengantisipasi hal ini, para pemangku kebijakan di daerah harus adaptif agar program yang telah dirancang sedemikian rupa di tingkat pusat ini tidak berakhir dengan kegagalan.
“Kita sebenarnya sedang menuju pola pikir negara maju. Output-nya yang ditetapkan dengan kualitas tertentu. Tapi dengan biaya yang seefisien dan semininal mungkin. Bagaimanapun, kebijakan ini harus benar-benar dikawal agar tidak terjadi penyelewengan di output,” tuturnya.














