Oleh
Izwaryani
Beberapa hari belakangan ini diskusi seputar poligami agak ramai berkat usulan seorang teman agar diinisiasi sebuah perda yang menganjurkan poligami. Kapan perlu disubsidi. Gampang ditebak, sontak para kaum hawa pada kebakaran jenggot (padahal tak ada jenggot nya).
Keramaian ini nano-nano. Ada yang kocak habis menanggapi, ada pula yang mengutarakan pandangan serius walau tetap disampaikan dengan bahasa ringan. Saya mencatat dua pandangan saja dari puluhan pandangan nano-nano tadi.
Pertama berdasarkan panduan Al-qur’an surat An-nisa ayat 3, S&K berlaku. خِفْتُمْ أَلَّا تُقْسِطُوا۟ فِى ٱلْيَتَٰمَىٰ artinya ada kedaruratan تَعْدِلُوا۟ Artinya ada syarat kompetensi khusus أَلَّا تَعُولُوا۟ Artinya menjamin bebas blunder.
Tiga syarat ini ditampilkan dalam ayat masing-masing dengan satu simbol. Jadi tidak semata gagah-gagahan, motif nafsu, dan lain sebagainya. Prinsipnya Allah telah menghalalkan poligami sebagai jalan hidup muslim dan muslimah dengan legitimasi syariat.
Dan di surat Al-maidah ayat 87 Allah melarang mengharamkan kebaikan yang telah dihalalkan-Nya dengan tetap menjaga keseimbangan, artinya tidak berlebihan Kedua secara budaya yang notabene berlandaskan ABS SBK, pada dekade sebelum ini berlangsung tata kehidupan masyarakat Minangkabau yang nyaman menjalani kehidupan berpoligami.
Termasuk saya sendiri lahir dari seorang kakek yang berpoligami. Dan ayah nenek saya pun berpoligami. Jadi nenek saya juga memiliki saudara tiri. Tapi uniknya kehidupan dua keluarga dalam satu ikatan madu ini sangat akur.
Tidak pernah terbersit sedikit pun apa yang sekarang dikenal dengan istilah cemburu. Bahkan kami para anak cucu beliau hidup dalam keakraban persaudaraan yang sangat kuat hingga nyaris tidak ada beda saudara ataupun sepupu tiri dengan yang kandung bagi kami.










