Satu-satunya perbedaan hanyalah fakta bahwa dengan saudara kandung kami hidup selalu bersama dalam satu rumah besar, dan dengan saudara atau sepupu tiri hanya kadang-kadang saja bersama serumah.
Namun biasanya dalam waktu yang relatif lama berkumpulnya, seperti selama musim liburan, musim buah-buahan (durian) dan lain sebagainya.Itu tadi pada generasi nenek.
Namun pada generasi ibu fenomena ini menyusut sangat drastis. Sudah jarang saja ditemui kehidupan bersahaja seperti diungkapkan tadi. Kalau pun ada sudah tidak harmoni lagi.
Kehidupannya banyak diwarnai oleh keributan akibat sulutan api cemburu yang pada generasi sebelumnya nyaris tidak dikenal.
Nah pertanyaannya, mengapa generasi terdahulu mampu menjalani kehidupan berpoligami seperti kehidupan normal? Apa yang membuat kenormalan berpoligami ini sirna dari komunitas kehidupan muslim, tak terkecuali Minangkabau yang berlandaskan falsafah ABS SBK?
Adakah peluang menormalisasi kembali kehidupan berpoligami ini dan bagaimana caranya?
Pertama dahulu komunitas Muslim hidup normal dengan berpoligami karena ikatan tali agama yang sangat kuat, bahkan mutlak. Apabila suatu mindset telah dilegalisasi oleh nash syariat, maka mutlak tidak ada lagi bantahan.










