Oleh: Pramono (Guru Besar Kajian Manuskrip Unand)
Di era digital ini, kehidupan kita tidak hanya ditentukan oleh ritme biologis dan sosial yang telah berakar sejak lama, tetapi juga oleh algoritma yang mengatur hampir setiap aspek keseharian. Dari berita yang kita konsumsi, produk yang kita beli, hingga hubungan sosial yang kita bangun—semuanya terjalin dalam benang algoritmis yang sering kali tak terlihat, tetapi sangat menentukan. Budaya algoritmis ini tidak hanya mencerminkan perubahan teknologi, tetapi juga memengaruhi cara kita berpikir, berinteraksi, dan bahkan memahami diri sendiri.
Sebelum membahas lebih jauh dampak algoritma dalam budaya modern, penting untuk menilik akar historisnya. Istilah “algoritma” berasal dari nama Al-Khawarizmi, seorang matematikawan Persia abad ke-9 yang menciptakan sistematika pemecahan masalah matematis yang kemudian menjadi dasar bagi pemrograman komputer modern. Al-Khawarizmi tidak hanya berjasa dalam perkembangan aljabar, tetapi juga dalam merumuskan prosedur sistematis yang kini menjadi fondasi utama dalam dunia komputasi dan teknologi digital.
Algoritma dan Penjajahan Kognitif
Algoritma bukan sekadar serangkaian perintah dalam pemrograman komputer. Ia adalah sebuah mekanisme yang, dalam konteks digital, mengatur distribusi informasi berdasarkan pola perilaku pengguna. Awalnya, algoritma dijanjikan sebagai sistem yang netral dan objektif, namun kenyataannya, ia tidak bebas dari bias. Sebagai hasil dari rancangan yang dikendalikan oleh perusahaan teknologi besar, algoritma menjadi instrumen yang menyaring, menyeleksi, dan bahkan mengarahkan cara kita melihat dunia.
Dalam media sosial, misalnya, algoritma menyusun linimasa kita dengan konten yang dianggap paling relevan berdasarkan interaksi sebelumnya. Hasilnya, kita semakin terkurung dalam “gelembung algoritmis” yang mempersempit perspektif kita dan mengukuhkan preferensi serta keyakinan yang sudah ada sebelumnya. Ini menciptakan kondisi di mana individu hanya terekspos pada pandangan yang seragam, memperlebar jurang polarisasi dan membentuk ekosistem digital yang mengisolasi.
Fenomena ini mirip dengan penjajahan kognitif, di mana kita secara tidak sadar diarahkan untuk mengadopsi nilai-nilai yang ditentukan oleh sistem yang lebih besar. Dalam hal ini, algoritma berperan sebagai penjajah yang tak terlihat, mengendalikan cara kita memahami dunia dengan membatasi akses terhadap informasi yang lebih luas dan beragam.
Budaya Algoritmis: Dari Konsumsi Hingga Identitas
Tidak hanya dalam lingkup informasi, budaya algoritmis juga membentuk cara kita berperilaku dan menampilkan diri. Platform seperti Instagram, TikTok, dan YouTube beroperasi dengan logika yang memperhitungkan engagement pengguna—semakin banyak interaksi, semakin tinggi kemungkinan konten akan muncul di beranda orang lain. Akibatnya, banyak individu yang tanpa sadar menyesuaikan gaya hidup dan bahkan identitas mereka agar sesuai dengan preferensi algoritmis yang lebih menguntungkan.










