Budaya Digital yang Seimbang
Budaya algoritmis telah mengubah cara kita berpikir, bertindak, dan berinteraksi dengan dunia di sekitar kita. Namun, dominasi algoritma juga membawa dampak yang perlu diantisipasi, seperti homogenisasi informasi yang mempersempit sudut pandang dan memperkuat polarisasi sosial, komodifikasi identitas yang mendorong individu menyesuaikan diri demi keterlihatan digital, serta ketergantungan berlebihan pada teknologi yang mengurangi peran intuisi manusia dalam pengambilan keputusan.
Untuk mengatasi tantangan ini, diperlukan langkah-langkah konkret, seperti peningkatan literasi digital agar masyarakat lebih kritis dalam mengonsumsi informasi, dukungan terhadap transparansi dan etika algoritma agar pengguna memahami bagaimana sistem bekerja, serta penerapan konsep digital well-being dengan membatasi ketergantungan pada algoritma dan membangun interaksi sosial yang lebih bermakna di luar ruang digital. Dengan kesadaran dan upaya yang tepat, kita dapat menciptakan ekosistem digital yang lebih seimbang, di mana teknologi menjadi alat yang melayani manusia, bukan sebaliknya.
Jika ditelusuri lebih jauh, sistem penyaringan informasi yang terjadi dalam budaya algoritmis saat ini sebenarnya bukan hal baru. Pada masa lalu, penyebaran pengetahuan melalui manuskrip juga tidak terjadi secara acak, tetapi dikendalikan oleh jaringan intelektual tertentu, seperti ulama, sastrawan, atau juru tulis kerajaan. Seperti algoritma yang menentukan informasi apa yang muncul dalam linimasa digital, akses terhadap manuskrip sering kali terbatas pada kelompok-kelompok tertentu, misalnya mereka yang memiliki hubungan dengan pusat kekuasaan atau lembaga keagamaan.
Selain itu, cara penyusunan manuskrip juga memiliki pola yang mengikuti struktur tertentu, seperti silsilah, hikayat, atau syair yang berfungsi untuk memperkuat nilai-nilai budaya dan sosial. Hal ini mirip dengan bagaimana algoritma media sosial saat ini mengarahkan konsumsi informasi kita berdasarkan pola yang telah ditentukan sebelumnya. Bedanya, dalam tradisi manuskrip, pembacaan sering kali bersifat kolektif dan memungkinkan adanya interpretasi bersama, sementara algoritma cenderung menciptakan konsumsi informasi yang individualistik dan lebih tertutup dalam ruang personal.
Dengan memahami paralel antara masa lalu dan masa kini, kita dapat lebih sadar bahwa sistem informasi selalu memiliki mekanisme seleksi yang memengaruhi cara manusia memperoleh pengetahuan. Namun, tantangan utama dalam era algoritmis ini adalah bagaimana memastikan bahwa seleksi tersebut tidak hanya menguntungkan segelintir pihak, tetapi tetap memberikan ruang bagi keberagaman perspektif dan keotentikan individu. Oleh karena itu, membangun budaya digital yang lebih seimbang bukan hanya tentang memahami teknologi, tetapi juga tentang merebut kembali kendali atas cara kita mengakses dan menafsirkan informasi. (*)










