Oleh: Prof. Syafruddin Karimi (Guru Besar Departemen Ekonomi Universitas Andalas)
Ketika Presiden Donald Trump mengumumkan ancaman tarif sebesar 50 persen terhadap produk Uni Eropa dan 25 persen terhadap iPhone yang tidak diproduksi di Amerika Serikat, pasar global langsung merespons dengan kepanikan. Indeks saham anjlok, investor menjual aset berisiko, dan ketidakpastian kembali mendominasi narasi ekonomi dunia. Di tengah tantangan struktural yang sudah kompleks, kebijakan semacam ini menciptakan turbulensi yang tidak hanya mengguncang pasar, tetapi juga memperkeruh relasi diplomatik dan merusak prospek pemulihan ekonomi global.
Trump tidak menyembunyikan ambisinya untuk memaksa negara-negara mitra tunduk pada tekanan dagang Amerika Serikat. Ia menuding Uni Eropa telah “mengambil keuntungan” dari Amerika Serikat dalam perdagangan internasional, dan menggunakan retorika proteksionis untuk membenarkan kebijakan tarif baru yang bersifat agresif (Blenkinsop, Lawder, & van den Berg, 2025). Tidak cukup dengan menyerang UE, Trump juga mengincar perusahaan domestik seperti Apple, dengan tuntutan agar seluruh iPhone dijual di AS hanya jika diproduksi di dalam negeri.
Kebijakan tarif ini menunjukkan bahwa Trump melihat perdagangan bukan sebagai sarana saling menguntungkan, tetapi sebagai alat koersif untuk mencapai dominasi sepihak. Retorika seperti ini bukan hanya membahayakan tatanan perdagangan global, tetapi juga menempatkan negara-negara mitra dalam posisi defensif yang memicu pembalasan dan keretakan hubungan strategis.
Respons pasar terhadap kebijakan ini sangat cepat dan jelas. Indeks Dow, S&P 500, dan Nasdaq masing-masing turun lebih dari 1,5 persen dalam perdagangan pra-pasar. Saham Apple kehilangan hampir 4 persen dari nilainya hanya dalam hitungan jam, sementara saham Amazon dan Nvidia ikut merosot (Chauhan & Chakravarty, 2025). Indeks volatilitas pasar (VIX) melonjak ke level tertinggi dalam lebih dari dua minggu, menunjukkan bahwa investor kembali terjebak dalam ketakutan terhadap gejolak yang tidak dapat diprediksi.
Pasar tidak menyukai ketidakpastian. Ketika kebijakan dibuat berdasarkan impuls politik, bukan kalkulasi ekonomi yang matang, pelaku pasar bereaksi dengan menjauh dari risiko. Akibatnya, investor mengalihkan portofolio mereka ke instrumen yang lebih aman seperti obligasi dan emas, yang justru dapat memperlemah arus investasi produktif dan memperlambat pertumbuhan.
Pukulan terhadap pasar tidak hanya datang dari sisi perdagangan. DPR AS baru saja meloloskan RUU pajak dan belanja besar yang akan menambah utang nasional sebesar USD 3,8 triliun dalam sepuluh tahun ke depan. Kenaikan utang ini meningkatkan kekhawatiran pasar, terutama setelah Moody’s menurunkan peringkat kredit Amerika Serikat (Chauhan & Chakravarty, 2025). Imbal hasil obligasi pemerintah AS bertenor 10 tahun turun sembilan basis poin ke 4,46 persen, mencerminkan pergeseran investor ke aset yang lebih aman.










