Oleh: Hardisman
Guru Besar FK-UNAND
Hari Sabtu, tanggal 31 Mei 2025 diperingati sebagi hari tanpa tembakau sedunia, yang merujuk kepada bebas dari perilaku merokok dan penggunaan produk membahayakan kesehatan lainnya. Akan tetapi semangat bebas rokok dan tembakau sangat ironi dengan yang terjadi di Indonesia.
Berdasarkan data terbaru dari World Population Review tahun 2025, Indonesia menempati peringkat kelima di dunia dalam hal persentase perokok tertinggi, dengan angka mencengangkan, yaitu 38,7% dari total populasi adalah perokok aktif. Data itu juga menyebutkan bahwa 74,5% laki-laki Indonesia merokok, atau dalam bahasa yang lebih sederhana, dari setiap sepuluh laki-laki Indonesia, tujuh di antaranya adalah perokok. Sebuah proporsi yang mengkhawatirkan untuk sebuah negara yang tengah memproyeksikan kemajuan di berbagai sektor, termasuk kesehatan.
Merujuk data BPS, pada populasi nasional yang mencapai 284,4 juta jiwa pada 2025, menutut data BPS, dengan 143,55 juta laki-laki; artinya bahwa lebih dari 110 juta warga Indonesia adalah perokok aktif, dan sekitar 107 juta adalah laki-laki. Fakta ini menjadikan Indonesia sebagai pasar potensial yang sangat besar bagi industri tembakau global, namun sekaligus menciptakan potensi krisis kesehatan masyarakat yang sangat serius di masa depan.
Budaya Merokok dan Tantangan Sosial
Masalah merokok di Indonesia tidak bisa dilepaskan dari budaya sosial yang sudah mengakar. Merokok tidak lagi sekadar kebiasaan pribadi, tetapi telah menjadi bagian dari norma sosial di berbagai kalangan. Dalam banyak komunitas, terutama di di lingkungan kerja informal, merokok dianggap sebagai sesuatu yang wajar, bahkan maskulin. Rokok kerap dijadikan alat pergaulan, simbol kedewasaan, dan bahkan dijadikan “pengganti makanan” oleh sebagian masyarakat.
Ironisnya, regulasi mengenai pembatasan rokok masih longgar jika dibandingkan dengan negara-negara lain. Iklan rokok masih ditemukan secara luas di berbagai media dan ruang publik, termasuk dekat sekolah. Hal ini berbeda jauh dengan negara-negara maju yang telah melakukan pelarangan total terhadap iklan rokok, termasuk dalam bentuk sponsor kegiatan olahraga atau seni.
Ancaman Nyata Kesehatan
Merokok telah terbukti secara ilmiah menjadi faktor risiko utama berbagai penyakit kronis. Di Indonesia, dampaknya mulai terasa secara nyata. Kasus kanker paru-paru misalnya, menunjukkan tren peningkatan yang mencemaskan. Berdasarkan proyeksi American Cancer Society, pada tahun 2023 tercatat sekitar 238.340 kasus kanker paru baru di Indonesia. Angka ini mengejutkan, apalagi bila kita menyadari bahwa merokok adalah faktor risiko utama dari kanker paru-paru.
Lebih buruk lagi, sebanyak 127.070 kematian akibat kanker paru-paru diperkirakan terjadi pada tahun 2023, menjadikan penyakit ini sebagai penyebab kematian yang dominan di Indonesia.
Penyakit lainnya seperti penyakit jantung koroner (PJK) dan penyakit paru obstruktif kronis (PPOK) juga terkait erat dengan konsumsi rokok. Riskesdas 2018 menunjukkan prevalensi PJK sebesar 1,5%, sementara PPOK diperkirakan mencapai 5,6% pada 2024, atau sekitar 4,8 juta penderita.
PPOK dan PJK bukan hanya mengancam kualitas hidup individu, tetapi juga menjadi beban besar bagi sistem kesehatan nasional yang sudah penuh tekanan akibat penyakit menular dan bencana alam. Jika tren ini dibiarkan tanpa intervensi berarti, maka dalam beberapa dekade ke depan Indonesia akan menghadapi lonjakan penderita penyakit kronis yang sulit dikendalikan, dengan biaya pengobatan yang membengkak dan kualitas hidup masyarakat yang menurun.
Dilema Nasional Ekonomi Rokok
Di balik besarnya angka perokok di Indonesia, ada satu realitas yang tidak bisa diabaikan: industri rokok adalah penyumbang besar pendapatan negara melalui cukai. Pada tahun 2023, penerimaan negara dari cukai rokok mencapai lebih dari Rp200 triliun. Industri ini juga menyerap jutaan tenaga kerja, mulai dari petani tembakau hingga pekerja pabrik rokok.
Namun, pertanyaannya bukanlah apakah rokok menyumbang pendapatan negara, melainkan seberapa besar pengorbanan yang dibayar oleh masyarakat dari sisi kesehatan. Biaya pengobatan untuk penyakit akibat rokok, produktivitas kerja yang hilang, serta angka kematian yang tinggi, jika diakumulasikan, bisa jadi jauh melebihi penerimaan dari cukai.
Akan tetapi, studi dari World Health Organization bahkan menyatakan bahwa setiap Rp1 yang dihasilkan dari cukai rokok, negara harus mengeluarkan Rp3 untuk menanggulangi dampak kesehatan akibat rokok. Ini adalah neraca kerugian yang tak terlihat secara langsung namun nyata dalam jangka panjang.
Perlu Regulasi Ketat dan Edukasi Dini
Meningkatnya angka perokok di Indonesia tidak akan berhenti dengan sendirinya tanpa intervensi serius dari berbagai pihak, terutama pemerintah. Maka, langkah pertama dan paling mendesak adalah memperkuat regulasi pengendalian tembakau. Gambar mengerikan di bungkus rokok dan himbaauan lunak tanpa ketegesan ternyata tidak terbukti efektif. Beberapa hal yang bisa dilakukan adalah pelarangan total iklan rokok di semua media, termasuk sponsor kegiatan olahraga dan seni; penerapan kawasan tanpa rokok yang tegas, terutama di lingkungan sekolah, kampus, rumah sakit, dan kantor pemerintahan; dan pembatasan penjualan rokok untuk anak di bawah umur, dengan penerapan sistem verifikasi usia secara ketat, termasuk di warung kecil.
Selain itu, perlu ada upaya sistematis melalui edukasi sejak dini di sekolah-sekolah, termasuk dalam kurikulum pendidikan dasar. Anak-anak harus dikenalkan pada bahaya merokok, baik dari sisi kesehatan, sosial, maupun finansial. Kampanye ini harus bersifat berkelanjutan dan tidak sekadar proyek jangka pendek.
Di sisi lain, media massa dan media sosial bisa digunakan sebagai sarana promosi kesehatan yang masif. Influencer, tokoh agama, dan selebritas bisa digandeng untuk menjadi agen perubahan gaya hidup sehat. Kementerian Kesehatan bersama stakeholder lain harus mulai berpikir keluar dari pendekatan birokratis konvensional, dan masuk ke ranah komunikasi publik yang lebih efektif dan kekinian. Semoga!










