Oleh: Hardisman
Guru Besar FK-UNAND
Pada tanggal 24 Juni akan diperingati sebagai Hari Bidan Nasional, yang dalam peringatan tahun 2025 yang mengusung tema “Bidan: Penting dalam Setiap Krisis”, tersirat satu pesan mendalam: bahwa bidan bukan hanya penyedia layanan kesehatan, melainkan penjaga kehidupan pada saat-saat paling rentan manusia, yaitu kelahiran. Tema ini bukan sekadar slogan, melainkan refleksi nyata atas urgensi peran bidan dalam sistem kesehatan nasional, terutama dalam layanan antenatal care (ANC) dan pertolongan persalinan.
Bidan di Indonesia bukanlah profesi pelengkap, melainkan ujung tombak pelayanan kesehatan ibu dan anak (KIA). Data nasional menunjukkan bahwa sekitar 65% persalinan di Indonesia ditolong oleh bidan, dengan variasi antarwilayah dari 49% hingga 80%. Angka ini mencerminkan realitas bahwa bidan merupakan figur yang paling dekat dengan ibu hamil, bahkan dalam situasi darurat sekalipun. Dalam banyak kasus, terutama di daerah terpencil dan perdesaan, bidan sering kali menjadi satu-satunya tenaga medis yang tersedia.
Jumlah Bidan: Benarkah Sudah Ideal?
Saat ini, menurut data resmi Konsil Kesehatan Indonesia (ww.kki.go.id) tercatat 540.040 bidan dengan STR aktif,. Jumlah ini, berdasrakan kebutuhan dasar standar WHO yaitu 1 bidan per 1.000 penduduk, seharusnya lebih dari cukup untuk melayani total populasi Indonesia dengan proyeksi 280 juta jiwa tahun 2025 ini. Berdasarjan jumlah penduduk, secara kasar Indonesia hanya membutuhkan sekitar 280.000 bidan.
Dalam konteks pelayanan primer, Permenkes No. 19 Tahun 2024 mengatur kebutuhan bidan di Puskesmas; minimal 4 orang untuk Puskesmas non-rawat inap baik di wilayah kota maupun desa, dan 7 orang untuk Puskesmas rawat inap. Bersarkan jumlah lebih dari 10.000 Puskesmas di Indonesia, estimasi kebutuhan bidan untuk layanan primer 270.000 orang, setara dengan standar WHO.
Namun, bidan tidak hanya dibutuhkan di Puskesmas. Mereka juga bekerja di berbagai fasilitas kesehatan lain seperti 1.771 RS Tipe C, 448 RS Tipe B, 84 RS Tipe A, dan 896 RSIA atau rumah sakit bersalin, yang bila dijumlahkan menciptakan kebutuhan tambahan hingga 285.000 bidan.
Jumlah tersebut, dan dengan mempertimbangkan penambahan lulusan baru tiap tahun serta pengurangan karena pensiun, Indonesia berada dalam kondisi cukup bahkan menuju surplus bidan secara total. Namun kecukupan secara nasional ini juga berarti kecukupan secara fungsional dan spasial.
Masalah Besar Distribusi
Masalah utama kita bukan soal jumlah, tetapi distribusi. Surplus bidan di Indonesia menjadi ironi ketika kita membuka peta distribusi tenaga kesehatan. Di satu sisi, terdapat wilayah-wilayah yang kekurangan tenaga bidan, terutama di kawasan Indonesia Timur, daerah perbatasan, dan daerah terpencil lainnya. Sementara kota-kota besar dan wilayah pusat telah mengalami kelebihan tenaga bidan hingga menciptakan kompetisi ketat yang tidak sehat.
Distribusi yang timpang menyebabkan ketidakadilan dalam akses layanan kesehatan. Di satu daerah, seorang bidan bisa menangani hingga puluhan ibu hamil dalam kondisi tanpa sarana memadai. Sementara di kota besar, banyak bidan yang justru menganggur atau bekerja di bawah kapasitas. Ketimpangan ini menciptakan situasi rawan bagi ibu dan bayi di wilayah yang tidak terlayani, dan menjadikan kerja keras bidan yang terisolasi semakin berat dan berisiko.
Distribusi ini sejatinya tidak akan pernah teratasi tanpa insentif dan perlakuan afirmatif terhadap bidan yang mau bertugas di daerah tertinggal, terpencil, dan perbatasan (3T). Saat ini, bidan terjebak dalam pilihan sulit, antara idealisme melayani atau realitas kehidupan. Tanpa jaminan kesejahteraan dan karier yang jelas, distribusi tidak akan pernah terwujud.
Kompetensi Bidan
Di luar masalah distribusi, Indonesia menghadapi ketimpangan kompetensi yang sangat mengkhawatirkan di antara lulusan bidan dari berbagai institusi pendidikan. Proses pendidikan bidan yang bervariasi, kualitas pengajaran yang tidak seragam, hingga jam praktik klinis, menyebabkan diskrepansi kemampuan yang lebar antarindividu. Lulusan dari institusi yang kuat dan bereputasi baik jelas akan lebih siap, sementara lulusan dari institusi yang minim kontrol mutu bisa saja belum memenuhi standar praktik minimal.
Krisis ini bukan masalah sederhana. Ketika kompetensi bidan tidak merata, maka kualitas pelayanan ANC dan persalinan menjadi rentan. Kesalahan diagnosis, keterlambatan rujukan, atau intervensi yang tidak tepat bisa berujung pada morbiditas atau mortalitas ibu dan bayi, yang seharusnya harus dicegah oleh keberadaan bidan itu sendiri.
Oleh karena itu, pembenahan sistem pendidikan bidan adalah keniscayaan. Pemerintah, bersama organisasi profesi dan lembaga akreditasi pendidikan tinggi, harus menegakkan standar minimal dan mekanisme evaluasi yang ketat terhadap semua institusi pendidikan kebidanan. Kompetensi bidan tidak bisa lagi dibiarkan menjadi lotere institusi, karena setiap bidan akan memegang kehidupan dalam tangannya.
Hari Bidan Nasional 2025 adalah momentum refleksi kritis terhadap realitas distribusi, kompetensi, dan kesejahteraan bidan di Indonesia. Sangat tidak mungkin kita berharap bidan hadir dalam setiap krisis, jika dalam kondisi biasa pun mereka masih menghadapi krisis mereka sendiri.
Pembenahan yang tepat sasaran bukan mengejar jumlah lulusan, tetapi pembenahan sistem yang menjamin setiap bidan bisa bekerja secara optimal, di tempat yang membutuhkan, dengan kompetensi yang memadai, dan dalam kondisi kerja yang layak. Semoga!










