Oleh: Ahmad Inung (Sekretaris BPMBSDM Kemenag)
Kata orang bijak, hidup adalah pilihan. Tuhan telah memberi anugerah kepada kita kapasitas untuk menimbang berbagai pilihan yang ada di depan kita. Dengan seluruh perangkat anugerah itu, Tuhan memberi kebebasan bagi kita untuk memilih.
Dalam hidup, pilihan yang ada tidak selalu hitam putih. Tak jarang pilihan yang tersedia penuh dengan dilema. Bahkan mungkin inilah yang sering tersedia. Kita dihadapkan pada situasi dilematis untuk menentukan sebuah pilihan. Kisah pasangan kekasih yang memilih bunuh diri adalah contoh pahit bagaimana dilema antara ketulusan cinta dan restu orang tua menyudutkan seseorang hingga tak ada ruang untuk membuat pilihan selain “memilih” mengakhiri hidupnya.
Kita bisa mendapatkan banyak kasus dilema dalam hidup ini. Di rumah, di kantor, di ruang pergaulan, hingga kasus-kasus besar skala global, seringkali pilihan yang pada akhirnya kita ambil bukan karena yang tidak kita pilih sepenuhnya buruk.
Orang bisa memandang kasus-kasus di atas dari berbagai sudut pandang. Namun, semua pasti setuju bahwa kita akan mengambil pilihan yang menguntungkan kita. Menguntungkan di sini tidak harus dipahami semata-mata keuntungan material.
Menguntungkan yang saya maksud di sini adalah segala hal yang mendatangkan kebaikan sesuai dengan preferensi moral masing-masing orang. Bagi orang tertentu, keuntungan bisa berarti bertambahnya harta karena begitulah preferensi moralnya. Namun bagi orang lain, keuntungan bisa berarti ketenangan hidup sekalipun tanpa gelimang harta, ketenaran, dan kekuasaan.
Suka atau tak suka, dalam hidup, kita dipaksa untuk mengambil sebuah pilihan. Secara instingtif, orang akan menghindari pilihan yang akan membawanya pada kesengsaraan. Setiap orang. Yang membedakan masing-masing orang adalah basis moral yang menjadi referensinya, bukan pada keinginannya.










