PADANG, HARIANHALUAN.ID — Pengamat Sosial Universitas Andalas (UNAND), Dr. Indraddin, S.Sos, M.Si, menyoroti kemacetan Kota Padang yang sebagian besarnya disebabkan oleh masyarakat atau pengendara itu dikarenakan dua hal yang mendasar. Pertama karena ketidaktahuan atau memang tidak ingin tahu pengendara terhadap adanya rambu lalu lintas dan markah jalan. Kedua, karena adanya sikap intoleransi masyarakat dalam berkendara yang akhirnya menjadi kebiasaan buruk yang berulang.
“Mereka (pengendara) yang berpikir aman-aman dan baik-baik saja berkendara, belum tentu aman pula bagi pengendara lain. Misalnya di perboden di jalur kanan atau kiri mana yang bisa lambat atau sedikit cepat, putar balik dan sebagainya, sebagian kita masih belum paham. Kita menganggap tetap aman saja bagi kita dalam berkendara,” katanya kepada Haluan, Rabu (30/7).
Ketidaktaatan pengendara dalam berlalu lintas, sambung Indraddin, memang terlihat aman-aman saja tanpa menimbulkan risiko yang lebih besar. Sebab, menjaga keamanan dan kenyamanan berlalu lintas sedikit membantu kehati-hatian para pengendara. Namun, ketidaktahuan dan ketidaktaatan itu tentu harus menjadi perhatian dan tak bisa dilengahkan begitu saja, karena hal itu pula yang akhirnya turut menyumbang kemacetan selain infrastruktur jalan yang tidak memadai.
Indraddin melanjutkan, terkait intoleransi berkendara, ini memang dinilai riskan dan mengkhawatirkan. Sikap dan tindakan toleransi dalam berkendara pun sangat diperlukan. Misalnya, apanbila memang ada orang berkendara karena terdesak dan membutuhkan ruang untuk bisa memotong kendaraan di depannya, terkadang pengendara di depan justru tidak mau memberi jalan dan tetap menghadangnya.
Dari intoleransi berkendara inilah yang pada akhirnya memang terlihat sederhana, tapi sebenarnya bisa berdampak pada kemacetan karena sikap tidak mau mengalah itu menjadi tindakan yang selalu dibiasakan dan diikuti oleh pengendara lain. Tentu hal ini menyangkut terhadap kesadaran masyarakat atau pengendara untuk tahu dan mau mengalah bagi pengendara lain meski pengendara yang tergesa-gesa pun turut salah.
Ditambah lagi sikap intoleransi berkendara itu ujung-ujungnya menjadi kebiasaan buruk yang bisa saja memunculkan rasa senang hati melihat orang susah. Indraddin mencontohkan dalam berkendara bukan karena salahnya pengendara lain, tapi memang karena keisengan atau sengaja mengganggu orang lain, seperti ngebut sembarangan, beber knalpot racing sambil melambatkan kendaraan, dan banyak kasus lainnya. Pengamat sosial itu mengatakan, terkait kebiasaan buruk pengendaranya dalam berlalu lintas, tentu solusinya harus menyasar masyarakat atau pengendaranya langsung. Artinya, memberikan pemahaman, sosialisasi berkelanjutan, dan upaya lainnya memang sangat dibutuhkan. Meskipum aturannya telah jelas, tapi yang namanya masyarakat tentu tidak akan sepenuhnya akan mau untuk tahu dengan aturan secara mendalam tersebut. (*)














