HARIANHALUAN.ID – Lebih kurang 30 kilometer perjalanannya berjalan kaki dari Nagari Silantai ke Sawahlunto, bukan lagi hanya sekadar memori yang membekas di kepala selama puluhan tahun silam. Sebaliknya, ingatan itu sudah menjadi sebuah pijakan bagi hidupnya tentang bagaimana mahalnya pendidikan memapah jalannya sebuah cita-cita.
Prof. Dr. Novesar Jamarun, M.Si, seorang anak nan jauh di pelosok nagari di Kabupaten Sijunjung, tepatnya di Nagari Silantai, Kecamatan Sumpur Kudus. Nagari Silantai, bersembunyi dalam belantara Rimbo Lisun, dan ketika itu jalan setapak hanya dilalui kuda beban dan kerbau pedati. Tepatnya pada 6 Mei 1962 lalu, lahirlah Novesar Jamarun ini dari pasangan Jamariyah (ibu) bersuku Caniago dan Jamarun (bapak) bersuku Malayu.

Novesar atau yang lebih dikenal Pak Ong itu tak menampik, bahwa keluarganya memang terlahir sebagai keluarga terdidik dan cukup terpandang. Namun, hidup yang tiba-tiba bisa mencekik, kesusahan hidup dirasakan pula oleh keluarganya.
“Kami delapan bersaudara dan masa kecil kami adalah kampung kecil tak terjamah kemajuan di masanya, yaitu Silantai. Orang tua kami cukup berada pada masa itu, tapi pada tahun 1965 tiba-tiba hidup kami mendadak susah,” ujarnya, Minggu (10/8/2025).
Kepada Haluan, Novesar membingkai masa-masa kehidupannya di kampung kecil itu dengan seluk-beluk kedukaan dan kebahagiaan dari hidup yang sesungguhnya. Ia yang lebih akrab disapa si Ong daripada nama aslinya, dikarenakan masa kecilnya sendiri. Novesar kecil dulunya seorang pendiam dan patuh. Orang Silantai menyebut pendiam itu paontok.
“Jadi kata ontok itu bisanya saya sebut ongtok. Melekatlah nama ini ke saya jadinya di lingkungan keluarga. Jadilah keseringan nama si Ong ini daripada Novesar. Bahkan sampai kini saya lebih dikenal Pak Ong daripada Pak Nov. Tapi alhamdulillah, nama itu berkah juga untuk saya,” ujarnya melepas gelak tawa.
Ia mengenyam sekolah dasarnya di SD 1 Silantai, ber-SMP Sawasta Silantai, dan ber-SMA di SMA 1 Sawahlunto. Sejak SD dan SMP, Novesar telah disibukkan dengan kemandiriannya, membantu orang tuanya setiap hari. Di pagi subuh, Novesar dalam pagi berembun dan dingin sudah mengikuti ibu bapaknya menyadap karet di ladang, dan setelahnya baru pergi bersekolah.














