Keempat, penguatan tata kelola kelembagaan, melalui optimalisasi peran BNPP RI sebagai institusi koordinatif utama dalam pengelolaan kawasan perbatasan, termasuk perluasan fungsi dari perencana menjadi penggerak transformasi kawasan yang menjembatani lintas sektor dan yurisdiksi. Model seperti European Grouping of Territorial Cooperation (EGTC) dapat diadopsi sebagai inspirasi.
Kelima, inovasi regulasi dan kelembagaan, termasuk pengembangan Zona Regulasi Khusus Perbatasan yang memberikan fleksibilitas fiskal, kemudahan perizinan, serta integrasi kebijakan pusat-daerah untuk menarik investasi strategis.
Keenam, mobilisasi pembiayaan campuran, yang mengintegrasikan sumber pembiayaan dari APBN, investasi swasta, kerja sama bilateral, dan skema kemitraan pemerintah-badan usaha, termasuk potensi filantropi pembangunan.
Sementara itu, patut menjadi catatan bahwa lebih dari sekadar pembangunan fisik, Kawasan Merah Putih diharapkan menjadi laboratorium kebijakan perbatasan Indonesia—ruang bersama bagi pendekatan lintas sektor dan yurisdiksi, sekaligus platform kolaborasi multipihak melalui model Quintuple Helix yang melibatkan pemerintah, dunia usaha, akademisi, komunitas lokal, dan media. Pendekatan ini menekankan pentingnya perencanaan jangka panjang, inovasi berbasis konteks lokal, serta penguatan kohesi sosial sebagai fondasi keberlanjutan kawasan.
Telaah Kebijakan
Beberapa regulasi utama menunjukkan bahwa isu pengelolaan wilayah perbatasan dan strategi pembangunan kawasan pertumbuhan telah mendapatkan perhatian signifikan, namun masih terdapat ruang penyempurnaan untuk integrasi, pelaksanaan, dan kesinambungan.
Seperti kita ketahui bersama bahwa RPJMN 2025–2029 sebagai tahap awal pelaksanaan RPJPN 2025–2045 menempatkan wilayah perbatasan sebagai prioritas dalam kerangka pembangunan kewilayahan yang berkeadilan dan berbasis potensi lokal. Arah ini menekankan pentingnya desentralisasi pembangunan dan optimalisasi geoekonomi kawasan luar Jawa.










