Konsekuensinya, dibutuhkan kebijakan lintas sektor dan yurisdiksi yang terintegrasi, termasuk regulasi yang akomodatif, skema investasi strategis, serta dukungan fiskal adaptif guna mempercepat transformasi wilayah perbatasan menjadi simpul pertumbuhan ekonomi nasional.
Penguatan kebijakan dari Undang-Undang No. 6 Tahun 2023 membuka peluang akselerasi pembangunan kawasan perbatasan melalui penguatan investasi, pelaksanaan Proyek Strategis Nasional (PSN), dan kemudahan perizinan usaha. Namun, tantangan utama terletak pada belum adanya afirmasi kebijakan yang secara eksplisit mengarahkan implementasi PSN di wilayah perbatasan. Tanpa langkah afirmatif tersebut, kawasan ini berisiko tertinggal dari pusat-pusat pertumbuhan utama, sehingga potensi strategisnya sebagai frontier investasi dan pengembangan ekonomi regional tidak akan optimal.
Pada sisi lain, Peraturan BNPP No. 1 Tahun 2011 yang menjadi acuan pengelolaan kawasan perbatasan berakhir masa berlakunya pada 2025. Selama ini, pendekatan yang diambil lebih dominan pada pembangunan fisik seperti PLBN, namun belum menyentuh secara mendalam aspek ekonomi lokal dan konektivitas antarwilayah. Ketiadaan kebijakan pengganti yang lebih progresif dan adaptif terhadap dinamika global pasca-2025 akan berisiko menimbulkan stagnasi pembangunan, sehingga transformasi kawasan perbatasan sebagai pusat ekonomi berbasis keunggulan lokal dan regional terhambat.
Hal serupapun terjadi pada Perpres No. 118 Tahun 2022 memuat Rencana Induk Pengelolaan Batas Wilayah Negara dan Kawasan Perbatasan 2020–2024 yang bertujuan mengintegrasikan pengelolaan batas negara dengan pengembangan kawasan ekonomi. Namun, tantangan masih muncul dalam bentuk belum selesainya penetapan batas negara, lemahnya pengawasan wilayah, serta tingginya aktivitas ilegal di jalur non-resmi. Dengan masa berlaku regulasi yang akan berakhir pada 2025, diperlukan kebijakan lanjutan yang mampu memperkuat peran BNPP, mendorong investasi strategis, serta menjamin stabilitas dan daya saing ekonomi perbatasan sebagai frontier pembangunan nasional.
Sementara itu, pembentukan BNPP melalui Perpres 12/2010 dan penyempurnaannya melalui Perpres 44/2017 telah memperkuat peran koordinatif pembangunan perbatasan. Namun, secara faktual BNPP masih memiliki keterbatasan kewenangan operasional dan kesenjangan sinergi dengan K/L teknis dan pemerintah daerah. Akibatnya, fungsi BNPP cenderung administratif dan belum mampu mendorong pelaksanaan pembangunan yang konkret di lapangan. Oleh karena itu, diperlukan revisi regulasi atau penguatan kelembagaan BNPP agar memiliki otoritas sebagai lead agency pembangunan perbatasan dengan kewenangan lintas wilayah serta sistem pembiayaan yang fleksibel dan berbasis kinerja.
Rekomendasi Kebijakan
Badan Nasional Pengelola Perbatasan Republik Indonesia (BNPP RI) perlu mempertimbangkan lima aspek, muali dari menyegerakan penyusunan regulasi baru sebagai kelanjutan Desain Besar Kawasan Perbatasan 2011–2025 dan juga Peraturan Presiden Nomor 118 Tahun 2022, dengan mengintegrasikan prinsip-prinsip pembangunan berbasis wilayah, pertumbuhan inklusif, dan keberlanjutan jangka panjang sesuai arah RPJPN 2025–2045.










