Oleh : Otong Rosadi (Dosen Mata Kuliah Politik Hukum & Filsafat Hukum Universitas Ekasakti)
Kekuasaan hanya berarti jika disertai hukum. Mochtar Kusumaatmadja, guru besar hukum yang banyak memberikan kerangka teoritis pembangunan hukum di Indonesia, menegaskan: “Hukum tanpa kekuasaan adalah angan-angan, sebaliknya kekuasaan tanpa hukum adalah kesewenang-wenangan.”
Kalimat sederhana, tapi sarat makna. Ia tidak hanya menggambarkan hukum dan kekuasaan sebagai dua sisi dari satu mata uang, melainkan juga menunjukkan bahwa keduanya saling membutuhkan sekaligus harus saling mengendalikan.
Keduanya memang berbeda, tetapi tak dapat dipisahkan. Hukum tegak jika ada kekuasaan yang menegakkannya. Sebaliknya, kekuasaan memperoleh legitimasi hanya bila bersumber dari hukum dan dijalankan menurut hukum. Relasi timbal balik inilah yang menentukan apakah suatu negara berdiri di atas prinsip rule of law atau sekadar rule by power.
Hukum, Kekuasaan dan Legitimasi
Kekuasaan tanpa legitimasi rakyat tidak akan bertahan lama. Legitimasi itu hadir ketika kekuasaan dijalankan untuk kepentingan bersama, bukan hanya kelompok atau individu. Dalam tradisi politik modern, legitimasi kekuasaan berakar dari prinsip demokrasi: dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Hukum menjadi instrumen untuk menyalurkan kehendak rakyat tersebut agar tertata, tidak liar, dan tidak berubah menjadi anarki.
Sebaliknya, hukum juga membutuhkan kekuasaan. Tanpa dukungan kekuasaan, hukum hanya teks mati di atas kertas. Peraturan yang baik sekalipun tidak berarti apa-apa jika tidak dijalankan oleh lembaga-lembaga negara yang memiliki kewenangan. Inilah sebabnya adagium Mochtar Kusumaatmadja sangat relevan: hukum butuh kekuasaan agar efektif, dan kekuasaan butuh hukum agar sah.
Namun, sejarah mengajarkan bahwa kekuasaan yang lepas dari hukum melahirkan bencana. Kekuasaan yang terkonsentrasi di tangan seorang penguasa absolut mudah menjelma tirani. Ketika sekelompok kecil elite yang berkuasa mengabaikan kepentingan umum, yang muncul adalah oligarki. Bahkan, ketika kekuasaan berada di tangan banyak orang namun hanya untuk menguntungkan kelompoknya sendiri, maka lahirlah mobokrasi—kekuasaan massa yang liar.
Ketiganya sama-sama menunjukkan wajah kekuasaan yang kehilangan orientasi moral dan hukum. Tirani, oligarki, maupun mobokrasi pada akhirnya hanya memperlihatkan betapa kekuasaan tanpa hukum menjelma kesewenang-wenangan, sebagaimana diperingatkan Mochtar.










