Karena itu, kekuasaan harus berjalan dalam koridor hukum. Hukum yang otonom, yang bekerja untuk kepentingan semua, bukan hanya alat bagi penguasa. Hukum yang diposisikan semata sebagai instrumen kekuasaan akan kehilangan wibawa dan justru mempercepat delegitimasi negara.
Syarat keadilan, kepastian, dan kemanfaatan hukum sebagaimana dirumuskan para ahli hukum klasik mesti hadir secara seimbang. Kekuasaan yang menjalankan hukum tanpa rasa keadilan akan melahirkan resistensi. Kekuasaan yang memaksakan kepastian hukum tanpa memperhatikan kemanfaatan akan menimbulkan penderitaan. Di titik inilah moral menjadi jembatan antara hukum dan kekuasaan.
Moralitas sebagai Titik Singgung
Dimana titik singgung hukum dan kekuasaan? Jawabannya adalah moral. Kekuasaan sejati bersumber dari rakyat, dan rakyat memberikan pengakuan hanya bila kekuasaan dijalankan sesuai dengan kehendak moral mereka: keadilan, kejujuran, dan kesejahteraan.
Begitu pula hukum. Lon Fuller dalam karyanya The Morality of Law menekankan bahwa hukum tidak hanya sekadar aturan tertulis, tetapi juga harus mencerminkan moralitas yang hidup di masyarakat. Tanpa moralitas, hukum kehilangan legitimasi. Tanpa moralitas, kekuasaan kehilangan arah. Maka moral menjadi poros tempat hukum dan kekuasaan bertemu.
Memasuki 80 Indonesia merdeka. Kita dengan sangat mudah mengikuti cerita Dona Lubis Bidan Puskesmas Simpan Tonang yang meski berenang untuk mengantarkan obat pasiennya. Kita mendengar pada hari yang sama saat Raya, bocah 4 tahun yang saat meninggal di organ tubuhnya sudah dipenuhi cacing. Meski itu di ujung, Sukabumi.
Belum lagi kita merefleksikan kemerdekaan di bulan ini. Kita seolah mendadak gelap dengan situasi Indonesia dengan kenaikan PBB di beberapa daerah, kenaikan tunjangan Anggota DPR RI, lalu joget usai rapat resmi. Publik disuguhi dinamika politik dan hukum yang memunculkan pertanyaan mendasar: apakah hukum benar-benar bekerja untuk kepentingan semua, atau hanya menjadi alat bagi segelintir kekuasaan?
Pertarungan kepentingan elite, perdebatan mengenai regulasi tertentu, hingga praktik hukum yang dianggap tidak konsisten menunjukkan bahwa kita tengah diuji. Di satu sisi, hukum harus tegak agar negara berjalan tertib. Namun di sisi lain, kekuasaan juga harus menunjukkan bahwa ia patuh pada hukum, bukan justru mempermainkannya.
Gejolak politik di Jakarta, ketidakberpihakan Wakil Rakyat, flexing kemewahan, hingga kasus-kasus hukum yang menyeret pejabat publik, semua memberi pesan yang sama: hukum dan kekuasaan harus kembali pada moralitas. Tanpa moralitas, hukum kehilangan jiwa dan kekuasaan kehilangan legitimasi.
Moralitas Kompas Pemandu
Pada akhirnya, hukum dan kekuasaan adalah instrumen. Keduanya tidak bernilai tanpa moralitas yang mengarahkannya. Sejarah bangsa kita ini berulang menunjukkan betapa mahalnya harga kekuasaan tanpa hukum, dan hukum tanpa moralitas. Medio tahun 1960-an dan Reformasi 1998 diantara nya, lahir sebagai koreksi atas kekuasaan yang terlalu jauh meninggalkan hukum dan moralitas rakyat.
Dewasa ini, tantangan serupa mengintai kita sebagai bangsa. Hukum harus dijalankan secara adil dan konsisten. Kekuasaan harus dijalankan dengan tanggung jawab dan transparansi. Dan moralitas harus selalu menjadi kompas pemandu.
Seperti ditegaskan Mochtar Kusumaatmadja, “Hukum tanpa kekuasaan adalah angan-angan, sebaliknya kekuasaan tanpa hukum adalah kesewenang-wenangan.” Untuk konteks bernegara hari-hari ini. Kita dapat menambahkan: hukum dan kekuasaan tanpa moralitas hanya akan membawa bangsa ini pada jurang ketidakadilan. Wallahu a’lam bishowab. (*)










