UNESCO menegaskan bahwa literasi merupakan fondasi pembelajaran sepanjang hayat. Anderson dan Pearson (1984) juga menjelaskan bahwa membaca dapat memperluas pengetahuan, meningkatkan kemampuan berpikir kritis, serta memperkaya kosakata.
Dengan demikian, literasi tidak hanya sebatas membaca dan menulis, melainkan juga membentuk pola pikir, karakter, serta keterampilan hidup yang dibutuhkan anak di masa depan.
Agar literasi berjalan efektif, sekolah perlu memiliki sarana yang memadai. Perpustakaan sekolah berfungsi sebagai pusat sumber belajar, sementara pojok baca di setiap kelas menghadirkan suasana literasi yang dekat dengan siswa.
Koleksi buku harus disesuaikan dengan fase usia dan kebutuhan anak. Buku cerita, bacaan bergambar, hingga teks pengetahuan sederhana akan menumbuhkan semangat membaca.
Jika ketersediaan buku masih terbatas, sekolah dapat berkolaborasi dengan perpustakaan daerah, perpustakaan kelurahan/ nagari, atau taman bacaan masyarakat (TBM). Kolaborasi ini memperkaya koleksi dan memperkuat budaya literasi.
Gerakan literasi tidak cukup hanya dilakukan di sekolah. Di rumah, orang tua berperan sebagai teladan dengan membiasakan anak membaca atau mendengarkan cerita, bukan hanya pada kegiatan Magrib Mengaji atau literasi bersama setiap Sabtu.










