AGAM, HARIANHALUAN.ID — Aroma lumpur bercampur bau anyir langsung menyergap begitu kami menapakkan kaki di Nagari Salareh Aia, Kecamatan Palembayan, Sabtu (28/11). Bau yang tak mudah dijelaskan, tajam, menyayat seolah membawa kabar duka dari balik timbunan tanah. Hari belum sepenuhnya sore, tetapi suasana di lokasi galodo itu terasa kelam dan berat.
Di sepanjang jalan di Nagari Salareh Aia, puing-puing rumah berserakan tanpa bentuk. Ada dinding yang tinggal separuh, ada atap yang terpelanting jauh ke tengah sawah, ada pula kasur anak-anak yang terjebak di antara ranting dan bongkahan batu besar. Semua itu menyusun mozaik kepedihan yang menyelimuti warga.
Suara langkah kaki relawan dan aparat terdengar tumpang tindih, sesekali diselingi panggilan untuk mencari anggota keluarga yang belum ditemukan. Namun lebih sering, yang terdengar hanyalah bisu, hening yang menyesakkan.
Saat menyusuri area Subarang Aia, tempat yang cukup parah dihantam galodo, saya menghentikan langkah. Ada sesuatu di udara yang menusuk, bau jenazah yang tertimbun lumpur. Bau itu datang dari arah sungai yang kini berubah menjadi hamparan lumpur pekat dan berseret.
Di seberang sana, puluhan rumah tak lagi berdiri. Fondasinya terkupas, sebagian hanyut, sebagian lagi runtuh bersama aliran deras material yang datang dari hulu. Warga berdiri memandangi puing-puing tanpa kata, seperti masih tak percaya apa yang menimpa mereka.
Di tengah situasi itu, kami mendekati seorang pria paruh baya. Namanya Ridwan, warga Subarang Aia. Wajahnya lelah, namun ia berusaha tenang saat menceritakan ulang detik-detik bencana.














