“Galodo tu datang sehabis ashar,” ujarnya pelan.
Suaranya serak, seperti tercekik kenangan yang terlalu berat untuk diulang. “Awalnya kami dengar bunyi gemuruh. Seperti bumi diguncang,” ucapnya.
Ia menunjuk arah sungai di belakang rumahnya. “Ndak lamo, material galodo itu naik tinggi. Air bercampur lumpur,” ucapnya lirih.
Ridwan bercerita bahwa air dan lumpur naik begitu cepat. Ia melihat sendiri bagaimana arus membawa batang kayu besar, batu, hingga pusaran lumpur yang menghantam jembatan penghubung Subarang Aia dan Batu Kambing.
“Jambatan tu putuih. Akses langsung hilang,” katanya sambil menarik napas berat. “Padahal di belakang rumah kami masih banyak perumahan.”
Ridwan bersyukur rumahnya yang berada di dataran lebih tinggi masih selamat. “Alhamdulillah kami sekeluarga ndak apo-apo. Tapi 300 meter ke bawah, hancur. Banyak rumah disapu (galodo),” ujarnya.














