Di lokasi yang sama, saya juga bertemu dengan tokoh masyarakat Salareh Aia, S. Dt. Bandaro Batuah. Ia berdiri menatap reruntuhan jembatan yang putus seolah merekam ulang ingatan yang tidak ia minta.
Ia memperkirakan jumlah korban jauh lebih besar dari laporan awal. “Kami duga ada sekitar 150 orang yang dibawa arus material galodo itu. Harapan kami, semuanya bisa ditemukan,” katanya.
Tak jauh dari sana, persisnya di depan SD 07 Koto Alam, seorang pria yang berada di bak mobil pick up menghapus air mata tanpa malu. Namanya Emrizal, warga Kampung Tangah Salareh Aia. Dada lelaki itu naik turun seolah menahan badai yang bergemuruh di dalam dirinya.
“Saya kehilangan adik kandung, kemudian keponakan adik saya itu, dan dua cucu adik saya itu,” katanya.
Kalimat itu keluar pelan namun menusuk, berat untuk didengar, apalagi untuk ia ucapkan. Saat kejadian, ia sedang memberi makan ternaknya. Ia melihat air besar mulai turun dari arah hulu.
Beberapa saat kemudian, air mulai surut, dan ia mencoba menyeberang untuk pulang. Namun pemandangan yang ia temukan membuat lututnya lemas. “Keluarga inti saya selamat, tapi adik saya hilang. Sampai kini tidak tahu di mana,” ucapnya.














