“Aturan kajian lingkungan hidup strategis banyak yang diproyekkan sehingga hanya menjadi pekerjaan di atas meja. Dulu ada tim yang rutin turun memonitor kondisi lapangan. Sekarang semua dibatasi atas nama efisiensi, sehingga terjadi salah kaprah yang membuat bentang alam berubah dan hasilnya kita lihat hari ini,” ujarnya.
Di lain pihak, terkait banyaknya korban jiwa, Prof. Eri menilai sistem peringatan dini atau early warning system (EWS) banjir dan longsor belum berjalan efektif. Menurutnya, EWS bukan hanya harus berfungsi, tetapi juga dipahami masyarakat.
“Kemarin sistem itu tidak berfungsi, padahal sebelumnya pemerintah daerah (pemda) sudah melakukan simulasi evakuasi. Hasilnya nihil. Ini tidak boleh hanya seremonial, harus ada sosialisasi berkala yang menyentuh seluruh lapisan masyarakat,” katanya.
Ia menambahkan, keterbatasan sensor pemantau, minimnya cadangan energi, dan tidak stabilnya jaringan komunikasi di lapangan juga turut membuat peringatan dini tidak mampu diterjemahkan menjadi aksi cepat.
Untuk pemulihan jangka panjang, ia menilai perlunya rekonstruksi berbasis ketahanan wilayah. Alur sungai di sejumlah daerah telah berubah sehingga relokasi permukiman di zona merah menjadi keharusan.
“Air selalu mencari tempat yang rendah. Ini harus diperhitungkan dalam rekonstruksi. Selain membangun kembali, perilaku manusia yang merusak hutan harus dihentikan,” kata Eri. (*)














