Oleh : Irman Gusman (Senator RI asal Sumatera Barat)
Bencana yang melanda Sumatera Barat, Sumatera Utara, dan Aceh dalam beberapa hari terakhir bukan lagi peristiwa alam biasa. Ini adalah rangkaian banjir bandang, longsor, galodo, dan runtuhan tanah yang bergerak tanpa henti. Curah hujan ekstrem telah mengubah ratusan nagari, desa, dan kecamatan menjadi zona krisis.
Data sementara hingga 2 Desember 2025, korban meninggal di tiga provinsi ini 659 orang, 475 hilang, 2.600 luka-luka. Jumlah warga yang terdampak di Sumbar, Aceh, dan Sumut tembus 3,2 juta jiwa. Ribuan rumah rusak berat, serta puluhan jembatan putus yang memutus akses antara kota dan kampung. Di beberapa wilayah, seperti Lembah Anai, Malalak, Barus, Tamiang, dan Pidie, jalan nasional amblas, bahkan hilang sama sekali. Ribuan warga terisolasi dan hanya bisa dijangkau melalui jalur darurat.
Di Aceh, luka sejarah seakan terbuka kembali. Gubernur Aceh, Mualem, dengan suara bergetar menyebut bencana ini sebagai “tsunami kedua bagi Aceh.” Kalimat itu menggambarkan betapa dahsyat kerusakan yang dialami daerah tersebut.
Tak Lagi Mampu Menahan Beban
Sebagai Senator dari Sumatera Barat, saya menerima banyak laporan dari lapangan, baik dari pemerintah daerah, relawan, maupun masyarakat. Banyak daerah telah menyampaikan bahwa mereka tidak lagi mampu membiayai penanganan darurat, apalagi pemulihan pascabencana yang membutuhkan dana besar dan waktu panjang.
Kapasitas fiskal banyak daerah semakin tergerus. Bahkan sebelumnya, Gubernur Sumbar Mahyeldi sempat meminta pemerintah pusat membiayai gaji ASN daerah—sebuah tanda bahwa ruang fiskal provinsi memang sangat tertekan. Ketika anggaran rutin pun menipis, bagaimana mungkin penanganan bencana berskala raksasa ini dapat ditangani sepenuhnya oleh daerah?
Karena itu saya menyebut bencana ini bukan hanya “tsunami kedua” seperti di Aceh, melainkan “tsunami plus”—karena bukan satu provinsi yang luluh lantak, tetapi tiga: Aceh, Sumut, dan Sumbar. Skalanya lintas wilayah, lintas batas, dan lintas kemampuan.










