Penulis : Yesi Deswita (Mahasiswa S2 Psikologi UNP)
Dalam dua dekade terakhir, fenomena meningkatnya jumlah ibu bekerja menjadi salah satu perubahan sosial paling signifikan dalam struktur keluarga modern. Data Badan Pusat Statistik (BPS, 2024) menunjukkan bahwa Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK) perempuan menunjukkan peningkatan signifikan, mencapai sekitar 56,42% pada Agustus 2024 (naik 1,9 poin dari tahun sebelumnya).
Angka ini terus meningkat seiring tuntutan ekonomi, pendidikan, serta perubahan norma sosial mengenai peran perempuan. Pergeseran ini membawa dampak besar terhadap pola pengasuhan dan dinamika keterikatan emosional antara ibu dan anak, terutama dalam masa-masa awal kehidupan yang menurut John Bowlby merupakan periode kritis pembentukan attachment.
Menurut teori attachment, hubungan bayi dengan pengasuh utama yang dalam konteks budaya Indonesia mayoritas adalah ibu menjadi “secure base” bagi anak untuk mengeksplorasi dunia sekaligus “safe haven” tempat ia mendapatkan kenyamanan saat mengalami stres. Dalam pandangan Bowlby, kualitas kehadiran pengasuh bukan sekadar persoalan fisik, tetapi juga keterhubungan emosional yang stabil, responsif, dan sensitif.
Ketika ibu bekerja dan memiliki durasi interaksi yang lebih terbatas, muncul pertanyaan penting: bagaimana kualitas attachment anak terbentuk di tengah perubahan pola kehadiran emosional maupun fisik ibu?
Fenomena ibu bekerja saat ini tidak dapat disederhanakan hanya sebagai “ketidakhadiran fisik”. Banyak penelitian psikologi modern menemukan bahwa ibu bekerja tetap dapat membangun secure attachment, selama mampu mempertahankan emotional responsiveness yaitu kemampuan membaca isyarat anak, memberikan kehangatan, dan merespons kebutuhan emosinya secara konsisten ketika hadir di rumah. Riset global seperti National Institute of Child Health and Human Development (NICHD, 2021) menunjukkan bahwa anak-anak dari ibu bekerja tetap memiliki peluang besar membentuk secure attachment, terutama ketika pola pengasuhan dilakukan secara koheren antara ibu dan pengasuh lain (ayah, nenek, daycare).
Namun demikian, fenomena ibu bekerja di Indonesia memiliki nuansa yang berbeda. Banyak ibu bekerja bukan karena pilihan karier semata, tetapi karena tuntutan ekonomi keluarga. Kondisi ini meningkatkan stres, kelelahan emosional, dan beban ganda yang berpotensi menurunkan sensitivitas ibu terhadap kebutuhan anak.
Data Kementerian Pemberdayaan Perempuan menunjukkan bahwa lebih dari 48% ibu bekerja melaporkan kelelahan emosional (emotional exhaustion). Bowlby menekankan bahwa unavailable caregiver, baik secara fisik maupun emosional dapat meningkatkan risiko anak mengembangkan insecure attachment, seperti anxious (gelisah, takut ditinggal) atau avoidant (menekan ekspresi dan menjaga jarak).
Di banyak kota besar, fenomena multi-caregiver juga semakin umum. Seperti anak diasuh oleh kakek-nenek, pengasuh rumah tangga, atau lembaga daycare. Studi Indonesia (2020–2024) menunjukkan bahwa anak yang diasuh lebih dari satu pengasuh tanpa koordinasi konsisten cenderung memiliki pola interaksi emosional yang kacau, sehingga memicu insecure-disorganized attachment. Bowlby menilai ketidakpastian respons pengasuh merupakan salah satu faktor paling berpengaruh dalam gangguan keterikatan.
Meski demikian, bekerja bukan berarti ibu kehilangan kesempatan membangun secure attachment. Justru penelitian mengungkapkan bahwa kualitas pengasuhan lebih signifikan daripada kuantitas waktu. Ibu bekerja dapat mengembangkan pola interaksi yang terfokus, penuh perhatian, dan hangat pada momen kebersamaan, yang secara empiris terbukti mendukung secure attachment. Selain itu, ayah kini memainkan peran yang semakin besar dalam pengasuhan. Ketika ayah mengambil peran pengasuh sekunder yang responsif, anak juga dapat mengembangkan keterikatan aman kepada ayah, mengimbangi keterbatasan waktu ibu.
Fenomena ini menunjukkan bahwa dinamika attachment pada era ibu bekerja tidak hitam-putih, melainkan multidimensional. Keberhasilan pembentukan secure attachment bergantung pada kualitas kehadiran emosional, koordinasi dengan pengasuh lain, stabilitas lingkungan rumah, serta regulasi stres orang tua. Transformasi peran gender di Indonesia memberi peluang baru bagi model pengasuhan yang lebih egaliter, di mana baik ibu maupun ayah memiliki pemahaman dan tanggung jawab yang setara dalam memberikan kelekatan emosional bagi anak.
Dengan demikian, teori attachment Bowlby tetap sangat relevan untuk memahami perubahan keluarga modern. Esensi teori tersebut berarti kehadiran emosional, sensitivitas respons, dan hubungan yang konsisten menjadi dasar penting dalam mendampingi anak di tengah perubahan sosial yang sedemikian cepat.
Fenomena ibu bekerja tidak harus dipandang sebagai ancaman bagi perkembangan anak, melainkan sebagai peluang untuk membangun pola pengasuhan yang adaptif, inklusif, dan berbagi peran, demi terciptanya hubungan yang aman dan menyehatkan di dalam keluarga Indonesia hari ini.
Dalam teori Psikologi, Psikiatris keluarga di Klinis Tavistock London, John Bowly menemukan bahwa relasi keluarga yang tidak harmonis dapat menyebabkan gangguan psikologis dan sosial.
Pengalamannya dalam mempersiapkan laporan WHO terkait anak-anak tunawisma pasca Perang Dunia II, meningkatkan minatnya untuk meneliti lebih lanjut hubungan anak dengan ibunya “the child’s tie to his mother” (Bowlby, 1958).
Tokoh yang terkenal dalam teori Attachment (kelekatan) ini mengatakan anak-anak dengan kecendrungan masalah perilaku, memiliki hubungan yang tidak memuaskan dengan pengasuhnya.
Mereka sering mengalami hal-hal menyakitkan, utamanya perpisahan yang menimbulkan emosi negatif. Diantaranya kecemasan, kemarahan dan kesedihan serta kehilangan. Hal tersebut akan tersimpan dalam ketidaksadarannya.
Pengasuh yang hangat akan memunculkan basis kelekatan aman yang membuat individu mengembangkan keterampilan mengelola tekanan (distress management). Hal ini membuat individu lebih percaya diri dalam mencari kedekatan dan dukungan saat tertekan.
Sementara pengasuh yang dingin atau kasar, alih-alih meringankan tekanan, justru ia menjadi sumber tekanan itu sendiri.
Oleh karenanya anak mengembangkan keraguan akan mendapatkan dukungan sehingga mengaktifkan sumber supresi.
Ketika sumber supresi diaktifkan, anak malah mengembangkan strategi berbeda untuk mengatasi masalahnya. Seperti hiperaktivitas (lebay, sangat aktif mencari dukungan sosial), atau malah deaktivasi (menghindar atau menyimpan masalahnya sendiri). (*)










