Mereka menilai banyak kota besar di Sumatera, termasuk Padang, kini tak lagi memiliki kemampuan ekologis yang memadai untuk menyerap air atau menahan beban hidrologis. Setiap hujan lebat, risiko banjir bandang, longsor, dan kerusakan parah di wilayah hilir meningkat berkali-kali lipat.
LBH-YLBHI juga menyorot tanggung jawab kementerian teknis—mulai dari Kementerian Kehutanan, ATR/BPN, ESDM, hingga Kementerian Lingkungan Hidup—yang dinilai lalai mengawasi ekspansi industri ekstraktif. Pemerintah pusat dianggap justru memberi karpet merah bagi korporasi.
Sementara pengawasan dan penindakan terhadap pelanggar berjalan minim. Mereka mendesak pemerintah melakukan evaluasi total dan moratorium izin baru, khususnya pada konsesi yang terindikasi berkontribusi terhadap deforestasi.
Dirjen Gakkum KLH dan aparat penegak hukum diminta segera turun melakukan investigasi menyeluruh terhadap aktivitas illegal logging, tambang ilegal, serta korporasi yang diduga merusak kawasan hutan.
LBH-YLBHI menegaskan penegakan hukum tak boleh lagi tebang pilih, karena kerusakan ekologis telah berdampak langsung pada keselamatan warga. Yang paling penting, lembaga bantuan hukum itu menegaskan bahwa skala bencana yang menghantam Sumatera kini sudah berada di luar kapasitas pemerintah daerah.
Mulai dari Sumbar, Aceh, Sumut, hingga Lampung, bencana hidrometeorologis yang terjadi secara beruntun telah menelan korban jiwa, melumpuhkan infrastruktur, serta menggerus kemampuan daerah dalam penanganan darurat.














