Pasal 28H ayat (1) menyatakan hak setiap orang atas “lingkungan hidup yang baik dan sehat”. Ini menempatkan hak atas lingkungan hidup setara dengan hak pendidikan, kesehatan, hingga rasa aman. Di sisi lain, pasal 33 ayat (3) menegaskan bahwa bumi, air, dan kekayaan alam dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Rumusan ini sering direduksi menjadi legitimasi eksploitasi sumber daya alam. Padahal, secara filosofis, ia meletakkan negara sebagai pemegang kepercayaan publik (wali atau trustee), bukan pemilik. Negara wajib mengelola sumber daya alam dengan prinsip keberlanjutan, keadilan antargenerasi, serta konservasi ekologis.
Menyimak kedua pasal ini secara koheren, jelas bahwa UUD 1945 menuntut keseimbangan antara ekonomi dan ekologi. Pertumbuhan ekonomi tidak boleh menggerus daya dukung lingkungan, karena kerusakan ekologis justru mengancam kesejahteraan umum yang dijanjikan konstitusi.
Doktrin Public Trust Doctrine, yang berkembang luas dalam jurisprudensi lingkungan modern, menyatakan bahwa unsur-unsur lingkungan tertentu—seperti air, laut, udara, dan sumber daya alam yang penting—tidak boleh dikuasai oleh individu atau korporasi; ia harus dikelola oleh negara untuk kepentingan publik yang paling luas.
Pada konteks Indonesia, doktrin menemukan pijakan yang sangat kuat pada pasal 33 ayat (3). Negara adalah “pemegang amanat” (trustee) yang mengelola kekayaan alam bukan untuk kepentingan fiskal jangka pendek, bukan pula pertumbuhan ekonomi semata, melainkan untuk keberlanjutan hidup bangsa. Amanat itu bukan hanya, sekali lagi, politik hukum semata, apalagi hukum administratif. Tetapi ini adalah kewajiban moral dan etik konstitusional.
Paradigma ini selaras dengan pemikiran modern tentang lingkungan hidup yang menempatkan negara sebagai penjaga keseimbangan ekologis. Setiap kebijakan perizinan, tata ruang, reklamasi, maupun eksploitasi sumber daya harus diuji dengan standar negara sebagai “wali”. Apakah kebijakan tersebut merusak atau melindungi kepentingan publik jangka panjang? Jika suatu kebijakan melampaui daya dukung lingkungan, maka sejatinya ia telah melanggar amanat konstitusi dan meruntuhkan kepercayaan publik yang menjadi dasar legitimasi kekuasaan negara.










