Seringkali bencana ekologis dianggap sebagai kejadian alamiah atau sekadar fenomena cuaca. Padahal sebagian besar berakar pada ketidakseimbangan paradigma pembangunan. Pembangunan yang terlalu menekankan ekspansi ekonomi tanpa memperhitungkan kemampuan alam untuk pulih akan menimbulkan kerugian lebih besar di masa depan.
Artinya, dalam konstruksi UUD 1945, pertumbuhan ekonomi dan keberlanjutan ekologis bukanlah dua kutub yang saling meniadakan. Keduanya harus dipadukan dalam kerangka konstitusional. Kesejahteraan umum yang dimaksud oleh pasal 33 bukanlah kesejahteraan yang dicapai dengan cara merusak modal sosial dan ekologis bangsa.
Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 dalam tataran implementatif menjadi permasalahan karena dijadikan landasan yuridis bagi berbagai sektor pengelolaan sumber daya alam untuk membuat undang-undang sektoral. Sehingga dalam praktik menjadikan tidak harmonis dan tidak sinkronnya peraturan perundang-undangan di bidang lingkungan hidup.
M. Priyanta mengambil contoh konstitusi Ekuador yang secara tegas memuat norma perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup dalam konstitusi hijau negara Republik Ekuador. Pemerintah Republik Ekuador dalam menempatkan hak lingkungan sebagai subjek hukum dalam konstitusinya.
Di sinilah relevan pendapat Karl Loewenstein, ilmuwan Politik-Hukum yang hidup antara tahun 1891 sampai 1973. Melalui bukunya Political Power and the Governmental Process (1957), ia menegaskan bahwa kekuatan konstitusi ditentukan bukan oleh indahnya teks, melainkan oleh kepatuhan nyata para penyelenggara negara. Loewenstein membedakan tiga tipe konstitusi: normatif, ketika aturan benar-benar ditaati; nominal, ketika teksnya baik tetapi pelaksanaannya lemah; dan semantik, ketika konstitusi hanya menjadi hiasan legitimasi kekuasaan.
Jika prinsip ini diterapkan, maka setiap kebijakan pembangunan harus merujuk pada hak konstitusional atas lingkungan hidup dan kewajiban negara sebagai pemegang amanat publik. Ketika pengelolaan sumber daya alam mengabaikan prinsip kehati-hatian atau mereduksi ruang ekologis, maka negara sejatinya menyimpang dari bintang penuntun itu.










