PADANG, HARIANHALUAN.ID — Krisis ekologis di Sumatera Barat memasuki babak yang semakin mengkhawatirkan. Di saat publik masih berduka akibat rangkaian banjir bandang dan longsor yang menghantam berbagai wilayah pada akhir November lalu, temuan terbaru WALHI Sumatera Barat justru memperlihatkan bahwa ancaman berikutnya telah mengintai dari hulu.
Di kawasan Hulu Daerah Aliran Sungai (DAS) Timbulun, Kecamatan Bungus Teluk Kabung, Kota Padang yang selama ini menjadi benteng ekologis antara Padang dan Pesisir Selatan.
WALHI Sumbar menemukan dugaan pembukaan hutan secara sistematis seluas ±129 hektare. Padahal, wilayah tersebut berstatus Hutan Lindung sebuah zona yang secara hukum tidak boleh dibuka, apalagi dialihfungsikan untuk kepentingan komersial.
Temuan ini disampaikan langsung oleh Tommy Adam, Ketua Divisi Penguatan Kelembagaan dan Hukum Lingkungan WALHI Sumbar. Menurutnya, kerusakan tersebut bukan lagi skala kecil, bukan pula kesalahan teknis di lapangan, tetapi indikasi kuat adanya aktivitas terencana yang melanggar hukum dan mengorbankan keselamatan ribuan jiwa di hilir.
“Overlay peta SK 35/Menhut-II/2013 dengan citra tutupan lahan terbaru menunjukkan dengan sangat jelas bahwa lebih dari 129 hektare kawasan lindung telah dibuka. Ini pelanggaran nyata, bukan sekadar kelalaian. Ini bentuk pengabaian terhadap sistem penyangga ekologis yang melindungi Kota Padang,” ujar Tommy kepada Haluan, Jumat (5/12).
Menurut Tommy, hilangnya tutupan hutan di hulu DAS membawa konsekuensi langsung dan sangat berbahaya. Hutan lindung yang selama ini menahan dan menyerap air hujan berfungsi sebagai rem alami bagi aliran air ke hilir. Ketika fungsi itu dihancurkan, air turun dengan deras tanpa kendali, memperbesar risiko banjir bandang, longsor, dan pendangkalan sungai.
“Kerusakan 129 hektar itu bukan angka administratif. Itu ancaman nyata bagi masyarakat di Bungus Teluk Kabung hingga Pesisir Selatan. Erosi meningkat, sungai menghitam dan dangkal, irigasi tersumbat, dan dalam musim hujan potensi banjir akan sangat besar. Keuntungannya mungkin dirasakan segelintir orang, tapi kerugiannya ditanggung seluruh warga,” ucapnya.
Selain ancaman hidrometeorologis, WALHI juga mengingatkan dampak ekologis lainnya: hilangnya habitat satwa liar, rusaknya rantai ekosistem, dan meningkatnya konflik manusia–satwa.
Kawasan Hutan Lindung Timbulun, selama ini dikenal sebagai rumah bagi berbagai spesies yang menjaga keseimbangan ekologis. Ketika habitat itu dibabat, satwa terpaksa turun ke permukiman warga dan menciptakan masalah baru yang selama ini tak diperhitungkan para perusak hutan.
Tak hanya aspek ekologis, Tommy menegaskan kerusakan ini akan memukul sektor pertanian, ekonomi masyarakat, hingga infrastruktur dasar. Perubahan pola air membuat sawah dan kebun terancam gagal panen. Jalan dan jembatan desa lebih mudah rusak. Bahkan pasokan air bersih ke masyarakat pun dapat terganggu.
Namun yang paling disorot WALHI adalah diamnya negara. Tommy menilai pemerintah tidak boleh terus bersembunyi di balik retorika bencana alam, sementara bukti-bukti kerusakan yang dilakukan manusia sudah begitu terang.
“Kawasan lindung dibuka untuk kebun sawit adalah tindak pidana. Dasar hukumnya jelas. Maka penegakan hukumnya juga harus jelas. Aparat tidak boleh membiarkan ini terus berlangsung. Negara tidak boleh kalah oleh kepentingan sempit kelompok yang merusak hutan,” tegasnya.
Ia menambahkan, kerusakan di Hulu DAS Timbulun adalah sinyal keras bahwa tata kelola lingkungan di Sumbar kini berada di tepi jurang. Jika tidak ada intervensi tegas, bencana ekologis serupa yang menghancurkan Batang Kuranji, Batang Air Dingin, dan sejumlah DAS pada peristiwa galodo 25–30 November 2025 akan berulang, bahkan lebih buruk.
“Ini peringatan keras. Jika pemerintah tetap menutup mata, bencana ekologis berikutnya bukan lagi potensi, tetapi kepastian yang tinggal menunggu waktu menghantam masyarakat Bungus dan sekitarnya,” tutup Tommy. (*)














