Oleh:
Muhammad Nazri Janra
Dosen Departemen Biologi Fakultas MIPA Unand
Siapa yang tidak kenal badut? Rasanya tidak ada yang tidak tahu dengan pelawak atau penghibur yang menampilkan aksi komedi fisik, sering kali dengan memakai riasan tebal dan pakaian aneh. Biasanya mukanya diberi bedak putih tebal, mata seperti dicalak agar terlihat kerling, bibir bergincu sampai proporsi lebarnya melebihi mulut orang biasa dan tidak lupa hidungnya yang berukuran besar bulat berwarna merah (memakai prostetik tentunya).
Selain harus jago menghibur dengan tingkah lakunya, badut juga bisa menggunakan trik sulap, kejutan slapstick atau hal konyol lainnya untuk tujuan tersebut. Tidak heran jika di beberapa negara bahkan dibuka sekolah khusus untuk orang-orang yang ingin menyeriusi badut sebagai profesi hidupnya. Bahkan juga ada istilah “coulrophobia” khusus untuk orang-orang yang takut berlebihan terhadap badut, mungkin karena riasannya yang tidak biasa tersebut.
Di lain pihak, terkhusus belakangan ini, bumi Sumatera tengah dilanda nestapa yang tidak terkira. Akibat angin siklon Sinyar yang seminggu lalu menunjukkan kekuatannya, wilayah Aceh, Sumatera Utara, sampai Sumatera Barat dilanda cuaca yang tidak biasa. Hujan yang menyertai angin kencang tersebut menyebabkan peningkatan volume aliran air dari kawasan hulu untuk kemudian berubah menjadi banjir yang rasanya belum pernah dirasakan sedahsyat ini dalam beberapa dekade ke belakang.
Kekuatan banjir bandang yang datang dengan tiba-tiba dengan membawa muatan lumpur, batu dan kayu-kayu meluluhlantakkan apa saja yang dilewatinya. Tidak ada struktur buatan manusia yang dalam jalur alirnya air bah tersebut yang utuh: rumah, bendungan, jembatan sampai ke jalan.
Apalagi manusia yang tidak sempat menyelamatkan diri ke tempat aman, mengingat di banyak tempat sebelumnya dikenal sebagai kawasan “bebas” banjir. Tidak heran, korban harta dan jiwa sampai saat ini masih belum bisa benar-benar dibulatkan perhitungannya. Yang jelas, sangat masif dan pastinya menimbulkan dampak psikis yang tentunya lebih susah untuk dikejawantahkan besarannya.
Nah, dalam situasi seperti itulah, kita dihadapkan dengan kemunculan “badut-badut” di dalam situasi berduka akibat bencana. Bukannya menghibur, tapi tindakan dan ucapan konyol dari para “badut” ini sukses menambah kepiluan yang dirasakan.
Mungkin dimulai dulu dari badut yang kebetulan menjadi ketua Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) yang ketika banjir masih belum sepenuhnya surut dengan lantang tanpa mengecek kondisi di lapangan mengatakan jika skala bencana yang terjadi “hanya besar” di sosial media saja akibat masifnya pemberitaan autodidak yang dilakukan para penggunanya. Meskipun pernyataan ini kemudian diralat, tapi publik sudah terlanjut mencatat buah bibir dari orang yang justru sigap mengomandoi penanggulan bencana di negara ini.
Setali tiga uang dengan pernyataan seorang pejabat kementerian kehutanan yang menanggapi banyaknya batang-batang kayu berukuran besar yang terbawa arus banjir dan menghampar memenuhi garis pantai barat Sumatera pascabanjir. Kayu-kayu yang terpotong rapi tersebut katanya terbawa oleh arus banjir, bukan oleh sebab lainnya semisal memang sengaja dipotong oleh pembalak liar atau korporasi.
Kira-kira pejabat tersebut mengatakan bahwa arus air memiliki kemampuan setara dengan ribuan gergaji mesin yang dapat dengan rapi memotong tepat pada porsi terbesar sebuah batang kayu meranti, keruing, ulin, dan jenis-jenis komersil lainnya tersebut.
Lalu, sosial media ramai menampilkan berita lengkap dengan foto-foto seorang pejabat dari ibu kota yang datang khusus untuk membantu meringankan penderitaan korban banjir. Dokumentasi memperlihatkan betapa jerih ia mengangkat sekarung beras, tidak membiarkan ajudannya di kiri dan kanan yang membawakan.
Juga dengan khidmatnya ia mendengarkan jerit pilu seorang ibu korban banjir sambil kemudian menghiburnya atau ketika ia bertepekur menatap limpahan air yang saban hari menyapu kampung yang tengah dilawatnya. Tapi khalayak tidak lupa, bahwa justru di tangan orang yang sedang ramai memperlihatkan kepeduliannya di sosial media tersebut kemungkinan besar semua bencana ini terpicu.
Sebab ketika ia memegang jabatan tertinggi di bidang lingkungan, justru tanda tangannya yang mengesahkan pembabatan hutan dan alih fungsi lahan besar-besaran. Bahkan Taman Nasional Tesso Nilo di Riau yang menjadi salah satu benteng pertahanan gajah Sumatera, badak, tapir, dan beragam organisme terancam (termasuk suku terasing Talang Mamak) menjadi berkurang drastis hingga tertinggal belasan persen dari luasan awalnya.
Belum lagi jika kita melihat sedikit ke belakang, tidak kurang banyaknya tokoh dan orang berpangkat yang tidak sungkan mengutuki mereka yang peduli dengan kondisi lingkungan sebagai “wahabi lingkungan”. Hanya karena berbenturan dengan kepentingan kelompoknya yang kebetulan mendapat konsesi tambang, sehingga menggunakan dalil agama untuk memuluskan hal tersebut.
Tentunya tidak lupa jargon bahwa “sawit juga pohon berdaun, sehingga tidak mengapa menggantikan hutan alami” yang karena diucapkan orang berpengaruh, menjadi semacam penguat pelaku sawit nasional untuk terus ekspansi kawasan sawitnya yang sudah ribuan hektare jumlahnya.
Personal atau tindakan mirip badut seperti yang dicontohkan di atas adalah hal terakhir yang kita perlukan dalam kondisi seperti sekarang. Kesantunan nan tulus, terutama dari mereka yang memiliki pengaruh di negeri ini, adalah yang sangat diperlukan agar selaras dalam memulai proses penyembuhan luka akibat bencana. Kalau masih berketerusan aksi-aksi membadut tersebut, mungkin semakin benarlah kalau kita memang kekurangan pejabat yang benar-benar “pelayan” rakyatnya. (*)











