Penulis : Rizka Melina Ramadhani A, S. Psi
Perkembangan teknologi digital telah membawa perubahan besar dalam cara belajar siswa pada berbagai jenjang pendidikan. Pembelajaran berbasis teknologi menjadi penting di zaman sekarang karena kemudahan akses terhadap materi, fleksibilitas waktu, dan keterhubungan melalui platform digital. Meskipun demikian, ada tantangan baru yang muncul bersamaan dengan keuntungan tersebut, salah satunya adalah kecenderungan siswa untuk melakukan banyak hal atau multitasking saat belajar.
Dipercaya bahwa, melakukan banyak hal secara digital, seperti membuka chat, video, media sosial, atau situs hiburan saat belajar, dapat mengganggu konsentrasi dan mengganggu kinerja kognitif. Karena sebagian besar siswa melakukannya tanpa disadari maka fenomena ini semakin mengkhawatirkan. Studi terbaru menunjukkan bahwa multitasking membuat belajar kurang efektif dan mengubah pola perhatian seseorang dalam jangka panjang (Rosen et al., 2020). Oleh karena itu, masalah multitasking digital sekarang menjadi salah satu fokus utama dalam psikologi pendidikan.
Secara teoretis, multitasking bertentangan dengan kapasitas atensi manusia yang terbatas. Menurut Cognitive Load Theory (CLT) yang dibahas dalam penelitian baru-baru ini, proses pemrosesan informasi bergantung pada memori kerja yang terbatas.
Seperti yang ditunjukkan oleh meta-review oleh Paas & Sweller (2014) dan pembaruan teori oleh Sweller, van Merriënboer, & Paas (2019), ketika siswa diminta untuk memproses berbagai sumber informasi sekaligus, terutama dalam lingkungan digital yang penuh dengan notifikasi dan stimulus visual, beban kognitif mereka meningkat dan proses pembentukan skema pengetahuan terhambat. Distraksi dari perangkat seperti pesan instan, media sosial, dan perpindahan tab menyebabkan peningkatan beban kognitif luar biasa, yang mengganggu fokus dan pemahaman dalam pembelajaran digital.
Berbagai penelitian menunjukkan bukti empiris mengenai dampak negatif multitasking digital terhadap konsentrasi. Junco (2020) menyatakan bahwa media yang melakukan banyak hal menghabiskan banyak sumber daya kognitif yang seharusnya digunakan untuk memahami topik inti. Oleh karena itu, lebih dari sekedar kebiasaan, multitasking membahayakan kualitas pembelajaran. Di sisi lain, Carrier et al. (2019) menemukan bahwa siswa yang sering berpindah ke aktivitas digital mengalami penurunan kemampuan mempertahankan fokus hingga 40%. Selain itu, ketika perhatian siswa mudah teralihkan, pembelajaran mendalam atau deep learning, menjadi lebih sulit untuk dicapai. Selain itu, multitasking digital menyebabkan attentional residue, yaitu ketika perhatian tertinggal pada aktivitas sebelumnya. Ini menyebabkan pemrosesan data yang lebih lama untuk tugas berikutnya.
Studi terbaru menunjukkan bahwa dampak residu perhatian tetap kuat meskipun interval antar-tugas sangat pendek. Ketika distraksi berasal dari perangkat digital, fenomena ini semakin kuat (Hobson & Saunders, 2022; Stothart et al., 2023).
Dalam konteks pembelajaran digital, proses berpindah dari materi pelajaran ke media sosial dan kembali lagi dapat menyebabkan penurunan kualitas kinerja kognitif secara signifikan.
Efek multitasking tidak terbatas pada penurunan konsentrasi, tetapi juga memengaruhi kinerja akademik secara keseluruhan. Van der Schuur et al. (2021) menemukan bahwa melakukan lebih dari satu tugas dalam kelas digital berkorelasi negatif dengan prestasi akademik, terutama dalam mata pelajaran yang membutuhkan pemahaman yang mendalam, seperti matematika dan sains. Multitasking memperlambat encoding dalam memori jangka panjang, yang membuat siswa membutuhkan waktu lebih lama untuk memahami ide.
Selain itu, Junco dan Cotten (2019) menemukan bahwa penggunaan media sosial selama pembelajaran meningkatkan kecenderungan melakukan kesalahan dan mengurangi waktu belajar.
Selain itu, multitasking digital memiliki dampak jangka panjang pada perkembangan fungsi kognitif. Cain et al. (2023) menemukan bahwa individu yang terbiasa multitasking menunjukkan penurunan executive control, kemampuan mengatur perhatian dan fleksibilitas kognitif.
Kecenderungan ini dapat mengganggu kemampuan berpikir kritis dan pemecahan masalah. Beban kognitif yang meningkat juga membuat otak cepat lelah, sehingga mengurangi motivasi dan keterlibatan siswa dalam pembelajaran.
Kondisi ini dapat berkontribusi pada stres akademik dan kejenuhan belajar, terutama pada siswa yang sering mengikuti pembelajaran daring.
Sebaliknya, multitasking dianggap sebagai cara untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan digital yang serba cepat. Banyak siswa percaya bahwa mereka dapat melakukan banyak hal sekaligus tanpa mengalami efek negatif yang signifikan.
Namun, hasil penelitian menunjukkan bahwa keyakinan ini salah. Menurut Stothart et al. (2023), multitasking hanya menimbulkan kesan produktivitas. Siswa benar-benar kehilangan kualitas pemrosesan informasi, meskipun mereka membuka aplikasi lain untuk mengikuti pelajaran. Siswa mengalami fenomena yang disebut sebagai “illusion of competence” ketika mereka merasa benar-benar memahami materi meskipun sebenarnya tidak.
Berbagai pendekatan dapat diterapkan dalam pendidikan untuk menangani masalah multitasking digital. Institusi pendidikan harus mengajarkan siswa digital self-regulation, yang berarti mereka dapat mengatur penggunaan perangkat digital selama belajar.
Strategi-strategi ini termasuk membuat lingkungan belajar bebas distraksi, menetapkan prioritas tugas, dan mengelola notifikasi. Kedua, platform pembelajaran digital harus dirancang untuk mendukung fokus. Ini dapat dicapai dengan memberikan mode fokus, membatasi pilihan hiburan, dan mengatur tampilan agar tidak terlalu mengganggu. Ketiga, agar siswa tidak terdorong untuk menggunakan aplikasi lain, guru dapat menggunakan pendekatan pembelajaran aktif seperti pembelajaran berbasis masalah (PBL) atau diskusi interaktif.
Selain itu, sangat penting untuk memberi tahu anak-anak bahwa multitasking bukan kemampuan yang bagus tetapi kebiasaan yang dapat mengganggu proses belajar.
Untuk menciptakan budaya belajar digital yang sehat, pendekatan kolaboratif antara orang tua, siswa, dan guru sangat penting. Ketika siswa dapat mengelola perhatian mereka dengan baik, proses belajar akan menjadi lebih baik dan perkembangan kognitif mereka akan berkembang lebih baik dalam jangka panjang. (*)










