JAKARTA, HARIANHALUAN.ID — Anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI asal Sumatera Barat, Cerint Iralloza Tasya, akhirnya angkat bicara terkait pelaporan dirinya oleh Badan Koordinasi (Badko) Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Sumbar ke Badan Kehormatan (BK) DPD RI. Laporan itu menuduh Cerint melanggar etik karena diduga merangkap jabatan sebagai pejabat publik sekaligus menjalani pendidikan profesi kedokteran.
Cerint menegaskan bahwa ia tidak melakukan rangkap jabatan, dan menilai tidak ada aturan yang melarang anggota DPD menyelesaikan pendidikan.
“Apakah boleh saat menjabat sebagai anggota DPD RI menuntaskan pendidikan? Silakan publik menilai. Undang-undang tidak melarang pejabat publik menuntaskan pendidikannya,” ujar Cerint pada wartawan, Sabtu (6/12/2025).
Ia menyebut, keluarga memang mengharapkannya menyelesaikan pendidikan dokter, meski dirinya sadar bahwa kelak tidak banyak waktu untuk menjalani profesi tersebut.
“Keluarga berharap saya menyelesaikan pendidikan dokter, walaupun dengan memilih jalan pengabdian di DPD RI saat ini, tidak memungkinkan saya menjalani profesi dokter kalau lulus nanti,” katanya.
Cerint mengaku harus pintar membagi waktu untuk menyelesaikan pendidikan sekaligus menjalankan tugas kedewanan.
Ia menegaskan komitmennya, bahwa tetap bekerja penuh untuk masyarakat melalui kewenangannya sebagai anggota Komite IV DPD RI. Salah satu yang diperjuangkannya adalah kemudahan akses Kredit Usaha Rakyat (KUR).
“Alhamdulillah, pemerintah memberikan penegasan bahwa KUR di bawah Rp100 juta tidak perlu agunan. Saya akan awasi pelaksanaannya agar UMKM terbantu,” ucapnya.
Terhadap kritik yang dialamatkan kepadanya, Cerint menyebut hal itu sebagai bagian dari dinamika demokrasi.
“Saya menghormati kritik itu. Ada hikmahnya juga, publik jadi tahu saya memang menjalankan proses pendidikan. Daripada diam-diam, nanti di ujung dituduh pula ijazah palsu,” pungkasnya.
Sebelumnya, laporan terhadap Cerint disampaikan Sekretaris Umum Badko HMI Sumbar, Aryanda Putra, dan Ketua Bidang PAO, Fadhli Hakimi, kepada Sekretariat BK DPD RI, pada Jumat (5/12/2025).
Laporan bernomor 65/B/SEK/06/1447 itu mendalilkan bahwa Cerint menjalani pendidikan profesi dokter sebagai dokter muda (co-ass) di RSUD dr. Achmad Mochtar Bukittinggi, yang merupakan rumah sakit pendidikan jejaring Fakultas Kedokteran Universitas Baiturrahmah.
Menurut Aryanda, pendidikan profesi dokter adalah pendidikan full time yang menuntut keterlibatan klinis intensif, mulai dari jadwal jaga, visite pasien, hingga tugas klinis lainnya.
“Kombinasi dua peran penuh waktu ini secara objektif menimbulkan persoalan etik,” kata Aryanda.
Badko HMI Sumbar menilai aktivitas Cerint berpotensi melahirkan empat persoalan etik utama, yakni konflik komitmen, konflik tugas, ketidakpatutan jabatan, dan konflik kepentingan.
Aryanda menduga posisi Cerint sebagai pejabat publik bisa memberi peluang perlakuan khusus dalam pendidikan klinis.
“Kami melihat adanya dugaan pengabaian komitmen kedewanan, sekaligus potensi standar ganda dalam pendidikan kedokteran,” ujarnya.
Sebagai bukti, HMI mencantumkan unggahan media sosial Cerint pada 14 Oktober 2025 yang menunjukkan ia sedang menjalani stase Obstetri dan Ginekologi, serta berkas yang mengonfirmasi keterdaftaran Cerint pada Koas Siklus 57 dan 58.
Sebelum melapor, HMI mengirim permintaan klarifikasi ke Universitas Baiturrahmah, RSUD dr. Achmad Mochtar Bukittinggi, dan RSUD dr. Mohammad Natsir Solok.
Namun, dua institusi tersebut belum memberi jawaban, sementara RSUD dr. Mohammad Natsir Solok membalas dengan menyebut adanya “fleksibilitas waktu” bagi mahasiswa profesi dokter.
HMI menilai jawaban tersebut tidak substansial.
“Konsep fleksibilitas waktu bagi pejabat negara bertentangan dengan prinsip pendidikan klinis yang full time. Ini justru memperkuat dugaan adanya perlakuan non-standar,” ucap Aryanda.
Mengacu pada UU MD3, UU Penyelenggaraan Negara yang Bersih dari KKN, dan Kode Etik DPD RI, Badko HMI Sumbar meminta BK DPD RI melakukan pemeriksaan etik terhadap Cerint.
Pelapor juga membuka kemungkinan sanksi berat.
“Rekomendasi PAW dapat diberikan apabila terbukti tidak menjalankan tugas kedewanan secara signifikan atau melakukan pelanggaran integritas yang mencederai marwah lembaga,” tulis HMI dalam tuntutannya.
HMI berharap laporan ini menjadi upaya menjaga integritas lembaga negara dan memastikan pejabat publik bekerja dengan dedikasi penuh waktu. (*)














