Sejak galodo menggulung kampungnya pada akhir November, Rahmi belum memejamkan mata dengan tenang. Petang bencana itu masih kerap berputar seperti rekaman yang tak mau berhenti. Suami dan mertuanya hilang seketika, terseret arus lumpur yang membawa batu dan batang pohon. Hanya ia dan dua anaknya yang tersisa, terdampar di antara puing rumah yang sudah tak berbentuk lagi.
Rahmi berusaha mengingat kembali detik-detik saat gemuruh dari arah hulu mulai terdengar. Tubuhnya yang lumpuh membuatnya tak bisa bersiap menghadapi bahaya. Ia hanya bisa menggenggam tangan kedua anaknya erat-erat, memaksa diri tetap tegar meski lantai rumah bergetar. Suaminya, Romi (40), sempat membuka pintu seraya meminta semua keluar, tetapi arus datang terlalu cepat, menenggelamkan perintah dan harapan dalam satu sapuan deras.
Ketika angin membawa bau lumpur dan batu mulai berdentum dari luar, Rahmi memeluk kedua anaknya lebih erat. Ia tahu rumah itu tidak akan bertahan lama, tetapi ia sama sekali tak punya pilihan selain tetap di tempat dan berharap alam berbelas kasihan.
Saat ini yang tersisa di ingatan Rahmi setelah itu hanyalah benturan, air yang masuk dari segala arah dan teriakan yang bercampur menjadi satu. Ketika ia sadar, Abdi dan Asraf masih memegang lengannya. Nafas keduanya tersengal tetapi tetap ada. Suami dan mertuanya tidak berhasil ditemukan. Rahmi memanggil nama mereka berkali-kali, namun hanya angin yang menjawab.
Hari-hari setelah bencana terasa panjang seperti lorong yang tak berujung. Rahmi dipindahkan ke rumah saudaranya karena rumahnya di Salareh Aia telah rata tanah. Semua hilang, mulai dari pakaian, perabotan, hingga foto-foto keluarga yang selama ini ia simpan sebagai kenangan terbaik. Di sudut ruang tamu yang sempit itulah ia memulai hidup dari awal.
Setiap malam anak-anaknya kerap terbangun dan mencari ayah mereka. Rahmi berusaha menjelaskan dengan cara paling lembut, meski dadanya sendiri tercekik oleh kenyataan yang sama.














