PADANG, HARIANHALUAN.ID — Aspirasi senator, legislator, kepala daerah, tokoh masyarakat yang mengemuka seminggu terakhir cukup jelas dimana mereka ingin bencana ini ditetapkan sebagai bencana nasional. Penetapan tersebut diyakini dapat mempercepat proses penanganan karena membuka akses koordinasi lintas lembaga dan dukungan anggaran yang lebih besar. Namun, percepatan tidak akan terjadi jika pendataan di lapangan masih semrawut.
Kondisi ini dibuktikan dengan perbedaan data yang muncul antara Pemerintah Provinsi Sumatera Barat dan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB). Dalam pernyataan resmi Gubernur Sumbar, Mahyeldi Ansharullah, pada Senin (8/12), total kerugian akibat bencana hidrometeorologi di berbagai kabupaten dan kota disebut telah menembus angka Rp1,8 triliun lebih.
Namun, sehari sebelumnya, dalam rapat terbatas antara Presiden Prabowo Subianto dan sejumlah kementerian, Kepala BNPB Letjen Suharyanto melaporkan angka yang sangat berbeda. Dalam forum resmi tersebut, BNPB memperkirakan kebutuhan anggaran untuk pemulihan kerusakan akibat banjir di Sumatera Barat mencapai Rp13,52 triliun. Selisih yang terlampau jauh ini menimbulkan pertanyaan besar: bagaimana mungkin dua lembaga pemerintah memiliki gambaran kerusakan yang begitu bertolak belakang?
Hal ini pun menjadi sorotan Anggota Komisi XIII DPR RI dari Fraksi Partai NasDem, Muhammad Shadiq Pasadigoe. Ia menegaskan bahwa meskipun status bencana nasional telah ditetapkan, tanpa data yang lengkap dan akurat, pelaksanaan penanganan justru akan menghadapi hambatan baru. “Lebih dari itu, pendataan yang tidak beres rawan membuka peluang penyalahgunaan anggaran. Inilah yang harus menjadi perhatian utama sebelum menuntut percepatan eksekusi program pemulihan,” katanya kepada Haluan Senin (8/12) di Padang.
Ia mengaku tidak terlalu yakin bahwa Presiden Prabowo akan menetapkan bencana ini sebagai bencana nasional dalam waktu dekat. Baginya, harapan boleh saja, tetapi yang paling mendesak adalah pendataan. Pendataan harus dilakukan oleh pemerintah daerah dan kemudian diverifikasi oleh kementerian terkait. Shadiq mempertanyakan absennya Badan Pusat Statistik (BPS) dalam proses ini, padahal lembaga tersebut memiliki kewenangan legal dalam urusan pendataan nasional.
Saat ini, wilayah terdampak memasuki masa tanggap darurat, fase yang menurut Shadiq merupakan ‘adik’ dari status bencana nasional. Efektivitasnya kembali bergantung pada kemampuan kepala daerah dalam mengelola situasi secara cepat dan terukur. Ia menegaskan bahwa setelah data rampung, dirinya sebagai anggota DPR RI akan mendorong agar proses rekonstruksi dapat dipercepat dan dilaksanakan tepat sasaran
Dikatakannya, dalam rapat terbatas Presiden Prabowo bersama sejumlah menteri serta pimpinan TNI-Polri, dipaparkan bahwa tingkat kerusakan terparah berada di Aceh, disusul Sumatera Utara, dan kemudian Sumatera Barat. Untuk rekonstruksi Sumbar saja, kebutuhan anggaran diperkirakan mencapai lebih dari Rp26 triliun. Shadiq menyampaikan apresiasinya atas perhatian Presiden dan seluruh unsur yang telah turun membantu, termasuk berbagai pihak yang telah memberikan dukungan kemanusiaan.
Meski demikian, ia menegaskan perlunya pengawasan ketat agar bantuan yang masuk tidak bocor dan tetap tepat sasaran. Walaupun belum ditetapkan sebagai bencana nasional, proses perbaikan tetap berjalan dan membutuhkan waktu panjang. Shadiq mencontohkan penanganan kerusakan di Lembah Anai yang saat ini masih berlangsung dan ditargetkan selesai dalam waktu dekat.
Shadiq mengkritisi belum adanya pernyataan resmi pemerintah terkait bentuk bantuan yang akan diberikan kepada warga terdampak, mulai dari santunan korban meninggal dunia hingga skema bantuan bagi rumah rusak berat, sedang, ringan, serta kerugian di sektor peternakan dan harta benda lainnya. “Kejelasan kebijakan sangat penting agar masyarakat tidak terjebak dalam ketidakpastian,” ujarnya. (*)














